Rupanya mereka hanya tahu desas-desus DI/TII selama ini. Tidak tahu wujudnya. Ketika akhirnya mereka berhasil lolos dalam situasi, mereka merasa cemas, karena mereka seperti kebingungan membedakan antara kawan dan lawan.
Kapten Sudarto di sini digambarkan sebagai sosok apa adanya. Ia beberapa kali melakukan kesalahan dan seperti lupa menyadari ia sebenarnya pria beristri.
Menurutku penggambaran tokoh utama dalam film ini unik karena tak seperti pakem dalam film perjuangan pada umumnya. Namun, menurutku malah lebih terasa membumi. Sudarto bukan pahlawan perang yang wah, ia hanya manusia biasa.
Penggambaran sosok Sudarto yang seperti itu sempat menjadi bahan kontroversi. Menurutku sih tak masalah karena tokoh-tokohnya fiktif.
Dari segi dialog, memang ada beberapa dialog yang terasa kocak jika didengarkan, apalagi yang sifatnya merayu seorang gadis. Beberapa pemain juga masih nampak kaku dalam menyampaikan dialognya.
Jumlah prajurit dan keluarganya juga nampak kurang konsisten. Di satu adegan terlihat begitu banyak yang menjadi korban serangan mendadak Belanda, tapi ketika dihitung korban meninggal dan yang mengalami luka tak sebanyak yang seperti terlihat di gambar.
Selain itu baju sebagian besar prajurit dan warga sipil nampal cukup rapi meski sudah melakukan perjalanan berminggu-minggu.
Ada beberapa adegan yang juga terasa komikal. Misalnya ketika seorang musuh yang memborbadir dengan senapan mesin. Â Eh ia kemudian terjungkal jatuh tertimpa senapan mesinnya.
Terlepas dari kekurangan tersebut, untuk ukuran film yang dibuat tahun 1950, maka film ini sudah cukup bagus, mengingat biaya produksi yang terbatas sementara pemainnya cukup banyak. Selain itu, film ini juga dibuat dalam kondisi situasi keamanan dan politik di Indonesia relatif belum stabil, di mana Indonesia baru diakui kedaulatannya pada 27 Desember 1949 dan DI/TII masih aktif beroperasi.
Untungnya Usmar Ismail dibantu Divisi Siliwangi dalam menyiapkan properti perangnya. Proses syuting dan pengambilan footage yang berlangsung di beberapa tempat, seperti Subang, Gunung Gede, Gunung Lawu, dan Sungai Citarum juga pada saat itu tentunya tidak mudah.
Film "Darah dan Doa" yang diproduksi Perfini kemudian ditetapkan sebagai film Indonesia pertama. Hari pertama syutingnya, 30 Maret 1950 ditetapkan senagai Hari Film Nasional dan diperingati setiap tahunnya. Pada 10 November 2021, H. Usmar Ismail ditetapkan sebagai pahlawan nasional.