Film-film laga yang mengusung tokoh utama perempuan di Hollywood jumlahnya tak sedikit. Banyak di antaranya yang sukses, seperti franchise "Tomb Raider" ala Angelina Jolie dan franchise "Underworld"nya Kate Beckinsale. Namun belakangan ini, sekitar enam tahun lalu mulai muncul tren girl empowerment alias girl power baik di film bioskop maupun film streaming. Komodifikasi ini mulai menyesakkan karena seolah-olah hanya mengikuti tren dan mengesampingkan kualitas cerita.
Istilah 'girl power' sepertinya dipopulerkan oleh Spice Girl. Sebagai girlband akhir tahun 90-an, kehadiran mereka memang fenomenal. Mereka memberikan semangat dan dorongan kepada remaja perempuan untuk memperjuangkan mimpinya.
Tak hanya di dunia musik, di mana Spice Girl menginspirasi munculnya berbagai girlband di berbagai negara, namun semangat girl power juga melanda industri perfilman. Ada begitu banyak film dengan tokoh utama perempuan, yang juga sukses besar.Â
Di antaranya "Charlie's Angels" (2000), Â "Erin Brockovich" (2000) Â "Legally Blonde" (2001), ""Frida" (2002), "The Devil Wears Prada" (2006), Sex And The City The Movie" (2008), dan masih banyak lagi.
Saya sebagai perempuan senang dengan semangat girl power dan kehadiran film-film dengan tokoh utama perempuan. Banyak di antara film tersebut yang jalan ceritanya fresh dan memberikan inspiratif seperti ""The Sisterhood of the Traveling Pants"(2005).
Namun belakangan ini aku mulai resah dengan kecenderungan Hollywood akan film dengan tema 'girl empowerment'. Mulai kebablasan dan nampak sekali komodifikasinya.
Tema girl empowerment ini sepertinya mulai tren sejak gerakan me too merebak untuk mengecam pelecehan terhadap perempuan di industri perfilman. Oke saya setuju dengan gerakan ini, saya juga menentang  adanya pelecehan terhadap perempuan di tempat kerja dan di manapun.
Namun entah kenapa kemudian muncul semacam pemahaman bahwa perempuan harus mendukung film-film dengan tokoh perempuan, yang sayangnya sebagian film tersebut hanya mengubah tokoh utama yang sebelumnya pria menjadi wanita alias gender swap. Tokoh utama perempuannya juga digambarkan begitu superior, dengan pelemahan tokoh pria di dalamnya.
Oke, saya bukan menolak film dengan  tokoh utama perempuan. Yang saya soroti di sini adalah bagaimana girl power ini seolah-olah hanya menjadi tren dengan mengesampingkan kualitas cerita dalam enam tahun terakhir.  Seolah-olah hanya dengan melakukan gender swap maka niatan menyebarkan girl power itu sudah terlaksana.
Kita mulai dari film "Ghostbusters" (2016) dan "Ocean's  Eight" (2017). Kedua film ini berangkat dari franchise laris, di mana kemudian Hollywood punya ide untuk melakukan gender swap dengan tujuan menyeimbangkan jumlah pemeran pria dan wanita di dunia perfilman. Dua film ini tak buruk, namun tidak bisa menyamai kualitas film sebelumnya. Ada sesuatu yang terasa hilang, tidak bisa diisi oleh kedua film tersebut.
Selanjutnya ada film "The Hustle," (2018) yang dibintangi Anne Hathaway dan Rebel Wilson yang juga merupakan gender swap film sebelumnya, "Dirty Rotten Scoundrels" (1988). Kemudian masih ada "American Psycho II: All American Girl", Â "What Men Want", dan masih banyak lagi.
Film-film tersebut seolah-olah hanya mengikuti tren, sekadar membalik gender, yang dulunya tokoh utamanya pria diganti perempuan. Sekadar itu. Namun kualitas ceritanya ala kadarnya.
Tren berikutnya yakni tokoh utama wanita yang dimunculkan dengan karakter dan kemampuan yang superior, sedangkan tokoh prianya dilemahkan. Di sini kita bisa melihat sekuel "Star Wars" sejak  "Star Wars: The Force Awakens", ""Enola Holmes", dan "Captain Marvel".
Sebenarnya saya sangat kecewa "Star Wars" memiliki sekuel, apalagi ceritanya menjadi kacau dengan tokoh-tokoh utamanya (Luke dan Leia Skywalker dan  Han Solo) yang tewas secara tragis, kemudian sosok Kylo Ren dilemahkan dan cerita Rey dari antah berantah digambarkan memiliki karakter Mary Sue, sebutan untuk karakter wanita yang serba sempurna. Jika mengikuti trilogi original "Star Wars", maka cerita sekuel ini terasa dipaksakan, demikian juga dengan tokoh wanitanya yang seperti mengikuti tren.
Hal yang sama juga terasa dalam film "Captain Marvel". Dalam film ini sosok hero perempuan begitu terasa superioritasnya. Ia juga memiliki karakter Mary Sue, terasa serba sempurna. Bagian akhir film yang menunjukkan ia sangat kuat malah menjadikannya kurang konsisten dengan film-film Marvel berikutnya.
Film "Enola Holmes" yang tayang di Netflix juga sama. Ia mengada-adakan tokoh yang tak ada di novel original Sherlock Holmes. Lalu karakter di film ini dibalik, menjadi lebih unggul dan superior dibandingkan dua kakaknya, termasuk Sherlock Holmes. Jadinya, tokoh dan ceritanya malah janggal.
Bukan berarti film dengan tokoh perempuan belakangan ini semuanya buruk. Tidak. Film "Birds of Prey" itu bagus karena fresh. Tokoh-tokoh perempuannya juga masih membumi.
Mendatang komodifikasi girl power masih terus berlangsung. Yang sudah berhasil membuat penikmat film was-was adalah serial "Lord of The Rings" universe yakni  "TLOTR: The Rings of Power", dengan penampakan Galadriel yang nampak gahar dengan baju zirah dan pedang. Oh apakah karakter Galadriel akan menjadi superior dan Mary Sue di film ini?
Tren girl power dengan gender swap dan karakter serba sempurna ini lama-kelamaan terasa kebablasan dan menjemukan. Akan lebih baik jika semangat girl power ini lebih natural dengan jalan cerita yang segar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H