Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Three Songs for Benazir", Lagu Cinta untuk Sang Istri

10 Maret 2022   22:00 Diperbarui: 10 Maret 2022   22:05 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah cinta yang manis di tengah keterbatasan (sumber gambar: IMDb)


Shaista Khan baru saja menikah. Ia tinggal bersama istrinya, Benazir, di rumah yang kurang layak. Sejak mengungsi bersama sukunya sekian tahun silam, mereka  tinggal di kawasan pengungsian di Kabul yang sebenarnya kurang layak. Mereka selalu was-was jika suatu saat pemukiman mereka menjadi sasaran bom atau adu tembak antara tentara Afghanistan, Taliban, dan pasukan Amerika. Cerita sedih ini dikisahkan dalam film dokumenter berjudul "Three Songs for Benazir".

Suatu ketika Shaista ingin mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Pendidikan Shaista sendiri terbatas. Namun ia ingin sekali mendapatkan pekerjaan yang cukup layak.

Selama ini ia  bekerja membuat batu bata. Kadang-kadang ia diajak memanen opium. Namun sebenarnya ia ingin sekali bergabung menjadi tentara nasional Afghanistan. Ketika ia menyampaikan rencananya ke ayahnya, ayahnya memintanya untuk melupakan dan membujuknya pergi memanen opium.

Namun Shaista tidak putus asa. Ia datang untuk melamar sebagai tentara. Ia diterima, asal ia mengisi dan mengembalikan formulir. Sesepuh di kampungnya tak ada yang setuju dengan rencananya. Mereka tak ingin bertanggung atau menanggung Benazir yang sedang hamil.

Shaista sebenarnya enggan memanen opium (sumber gambar: CNN.com)
Shaista sebenarnya enggan memanen opium (sumber gambar: CNN.com)


Shaista pun menjadi dilema.

Film dokumenter pendek ini berhasil lolos masuk nominasi Oscar 2022 kategori film dokumenter pendek. Ia bersaing dengan empat film lainnya, "Audible", "The Queen of Basketball", "Lead Me Home", dan "When We Were Bullies".

Dengan durasi yang kurang dari 30 menit, Elizabeth Mirzaei dan Gulistan Mirzaei memberikan gambaran kepada penonton kehidupan sehari-hari Shaista bersama istrinya yang serba kekurangan, juga selintas kehidupan suku mereka.

Tak banyak hiburan dan fasilitas di sekeliling mereka. Semuanya serba terbatas. Tak ada sekolah di tempat mereka. Bangunan pemukiman pun ala kadarnya.

Terlihat seorang perempuan menggunakan radio untuk dapat mendengarkan lagu-lagu. Ia nampak gembira mendengarkan lagu-lagu tersebut.

Radio menjadi sarana hiburan mereka (sumber gambar: whatsnewonnetflix.com)
Radio menjadi sarana hiburan mereka (sumber gambar: whatsnewonnetflix.com)


Meski nampak kekurangan, para warga masih bisa menyanyi dan menari. Para pemuda sebenarnya senang mendengar kabar Shaista akan menjadi tentara. Ia akan menjadi orang pertama di suku mereka yang akan masuk tentara. Mereka membuat perayaan kecil-kecilan dengan menari diiringi musik tradisional.

Namun bagi para tetua suku tersebut, cara yang sudah mereka ketahui dan terbukti aman tetap lebih baik. Mereka seolah-olah takut dengan perubahan. Tapi cara yang mudah dan aman rupanya dengan memanen opium.

Tak ada konklusi yang mungkin sesuai dengan ekspektasi penonton di film ini. Cerita dibiarkan apa adanya karena merupakan film dokumenter. Nuansa ketidakberdayaan dan pesimisme terasa kental di film ini.

Lantas apa yang dimaksud tiga lagu untuk Benazir? Rupanya si suami suka menggoda istrinya dengan bernyanyi untuknya. Ketika ia bernyanyi, si istri nampak senang, ia tertawa sambil tersipu malu. Ia tutupi mulutnya dengan kerudungnya.

Shaista suka bernyanyi menggoda istrinya (sumber gambar: IMDb.com)
Shaista suka bernyanyi menggoda istrinya (sumber gambar: IMDb.com)


Saat ia bernyanyi maka nampak betapa Shaista sebenarnya menyayangi istrinya. Hanya ia bingung bagaimana bisa berjuang meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga kecilnya di tengah keterbatasan dan lingkungan yang tak mendukungnya.

Film dokumenter pendek ini sebelumnya berhasil raih penghargaan, di antaranya Jury Award di Full Frame Documentary Film Festival untuk kategori Best Short dan Award of Excellence di Yamagata International Documentary Film Festival.

Sebuah film dokumenter yang humanis, hangat, dan apa adanya. Skor: 7/10. Kalian bisa menyaksikannya di Netflix. 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun