Meski nampak kekurangan, para warga masih bisa menyanyi dan menari. Para pemuda sebenarnya senang mendengar kabar Shaista akan menjadi tentara. Ia akan menjadi orang pertama di suku mereka yang akan masuk tentara. Mereka membuat perayaan kecil-kecilan dengan menari diiringi musik tradisional.
Namun bagi para tetua suku tersebut, cara yang sudah mereka ketahui dan terbukti aman tetap lebih baik. Mereka seolah-olah takut dengan perubahan. Tapi cara yang mudah dan aman rupanya dengan memanen opium.
Tak ada konklusi yang mungkin sesuai dengan ekspektasi penonton di film ini. Cerita dibiarkan apa adanya karena merupakan film dokumenter. Nuansa ketidakberdayaan dan pesimisme terasa kental di film ini.
Lantas apa yang dimaksud tiga lagu untuk Benazir? Rupanya si suami suka menggoda istrinya dengan bernyanyi untuknya. Ketika ia bernyanyi, si istri nampak senang, ia tertawa sambil tersipu malu. Ia tutupi mulutnya dengan kerudungnya.
Saat ia bernyanyi maka nampak betapa Shaista sebenarnya menyayangi istrinya. Hanya ia bingung bagaimana bisa berjuang meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga kecilnya di tengah keterbatasan dan lingkungan yang tak mendukungnya.
Film dokumenter pendek ini sebelumnya berhasil raih penghargaan, di antaranya Jury Award di Full Frame Documentary Film Festival untuk kategori Best Short dan Award of Excellence di Yamagata International Documentary Film Festival.
Sebuah film dokumenter yang humanis, hangat, dan apa adanya. Skor: 7/10. Kalian bisa menyaksikannya di Netflix.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H