Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Mengapa Serial "The Witcher" Tetap Tak Nyaman Ditonton

6 Maret 2022   20:00 Diperbarui: 6 Maret 2022   20:02 9294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Serial "The Witcher" banyak menuai kritikan dari penggemar novel dan games-nya (sumber gambar: Netflix)


Ketika Netflix mengumumkan akan mengadaptasi novel dan games populer, "The Witcher", dalam bentuk live action, tak sedikit yang antusias. Banyak yang berharap serial ini akan menjadi the next "Game of Thrones". Apalagi dengan adanya bangsa peri, penyihir, kurcaci, dan para monster. Namun alih-alih menandinginya, serial ini makin banyak terima kritikan dari para fans. Yang tidak pernah membaca novel dan memainkan games-nya pun cukup banyak yang menyatakan kebingungannya selama menyaksikan serial ini.

Ketika menyaksikan serial ini selama musim pertamanya, aku juga salah satu yang optimis dan antusias menanti "The Witcher". Meski aku sendiri bukan pembaca setia dan hanya suka menyaksikan cuplikan adegan  games-nya. Setelah "Game of Thrones", belum ada lagi serial medieval dengan unsur fantasi yang wah. Oleh karenanya aku berharap banyak pada serial ini. Apalagi sosok tokoh utamanya, Geralt of Rivia, diperankan Henry Cavill.

Fisik Henry Cavill pas memerankan sosok Geralt of Rivia (sumber gambar: gamesradar.com)
Fisik Henry Cavill pas memerankan sosok Geralt of Rivia (sumber gambar: gamesradar.com)


Novel fantasi yang disusun oleh penulis Polandia, Andrzej Sapkowski, ini terbilang sukses. Novelnya telah dialihbahasakan ke 37 bahasa dan terjual lebih dari 15 juta kopi di seluruh dunia.

Oh iya cerita "The Witcher" berpusat pada sosok Geralt yang dikenal sebagai 'witcher'. Ia adalah pemburu monster yang berlatih ekstra keras di Kaer Morhen. Suatu ketika takdirnya membawanya untuk menjadi pelindung putri Cirilla dari Kerajaan Cintra, yang kemudian menjadi seperti anak angkatnya.

Sementara itu, terjadi pergolakan di sana-sini, berkaitan dengan permusuhan antara Kerajaan Niflgaard dan kerajaan-kerajaan di bagian utara. Juga ada ketegangan antara bangsa manusia dan bangsa peri.

Dalam petualangannya, Geralt kerap kali ditolong beberapa rekannya, seperti Yennefer of Vengerberg dan Triss Merigold. Ia juga pernah kembali ke markas perguruannya, berjumpa kembali dengan mentornya, Master Vesemir.

Musim Pertamanya Membingungkan

Episode pertama dalam musim pertamanya sebenarnya lumayan menarik. Geralt sebagai pembasmi monster langsung diperkenalkan. Ia nampak kelelahan setelah mengalahkan monster jenis kikimora.

Di tempat lain dalam waktu yang berbeda, puteri Ciri nampak hadir di acara formal kerjaan bersama neneknya. Lalu tak lama istananya diserang oleh pasukan Nilfgaard.

Cerita pada episode kedua menceritakan awal mula Yennefer sebagai penyihir. Dari gadis bungkuk buruk rupa yang dijual orang tuanya, ia kemudian berubah jadi penyihir yang kuat dan cantik. Nah lagi-lagi, rupanya latar waktunya lebih awal tiga dekade dari episode pertamanya.

Musim pertama membingungkan karena ceritanya yang tak linear, lompat-lompat maju mundur (sumber gambar: IMDb)
Musim pertama membingungkan karena ceritanya yang tak linear, lompat-lompat maju mundur (sumber gambar: IMDb)


Dari episode pertama hingga episode kedelapan yang merupakan akhir dari musim pertama, cerita maju dan mundur secara brutal. Tidak jelas urutan ceritanya. Penonton seolah-olah diajak menerka-nerka bagian mana yang merupakan bagian awal dan berikutnya.

Eksplorasi dan pengembangan karakter juga serampangan. Agak sulit bersimpati kepada Yennefer meski masa lalunya keras dan buruk. Tokoh-tokoh lainnya seperti Tris yang dalam cerita game, termasuk tokoh favorit, seolah-olah sia-sia. Hanya seperti pelengkap cerita.

Kehadiran makhluk fantasi seperti peri, kurcaci, dan monster juga tidak berhasil membuat takjub. Para monster seperti datang hanya untuk meramaikan cerita, dan pasrah untuk kemudian dikalahkan.

Kualitas desain set, CGI, dan skoringnya juga standar. Aku sungguh kecewa dan juga pening usai menontonnya, ini ceritanya sebenarnya seperti apa sih, masak harus baca novelnya dulu baru paham.

Baru setelah episode kedelapan aku baru paham, cerita di episode pertama itu lanjut ke episode delapan. Sedangkan episode kedua hingga ketujuh acak-acakan urutannya.

Ketika musim keduanya hadir, aku agak was-was karena takut kecewa lagi setelah menyaksikan film musim pertamanya. Jangan sampai aku malah pening, bukannya malah terhibur ketika menontonnya.

Musim Kedua Tetap Buruk Hanya Sedikit Lebih Baik
Akhirnya aku memberanikan diri menyaksikan musim keduanya. Episode pertama agak lumayan meski jalan ceritanya nampak konyol dan kurang rapi. Namun setidaknya ada kaitannya dengan episode kedelapan musim pertamanya.

Episode-episode berikutnya kupercepat karena ceritanya memang hanya sedikit yang setia dengan kisah dalam novel (akhirnya aku membaca sinopsis keseluruhan novelnya, karena selama menyaksikan musim pertamanya aku tak yakin benar-benar paham ceritanya).

Andai ceritanya direset, Henry Cavill dipertahankan jadi Geralt (sumber gambar: voi.com)
Andai ceritanya direset, Henry Cavill dipertahankan jadi Geralt (sumber gambar: voi.com)


Ceritanya dipanjang-panjangkan, membuang-buang waktu dan yang menyedihkan porsi penampilan Geralt di musim kedua ini malah hanya sedikit. Ceritanya malah lebih banyak berpusat pada Yennefer, intrik para penyihir, perseteruan kaum peri, dan juga Ciri.

Bagian yang masih lumayan dari film ini adalah ceritanya yang linear, memiliki alur maju, sehingga tidak lagi menebak-nebak ini masa lalu atau masa kini.

Juga ada kisah para witcher yang merupakan sahabat dan rekan Geralt yang bermarkas di Kaer Morhen. Master sekaligus semacam ayah bagi Geralt, Master Vesemir juga ada dalam cerita.

Selama menyaksikan dua musim "The Witcher", aku akhirnya paham alasan menyaksikan serial ini hanya karena Henry Cavill. Ia adalah sosok yang pas dalam memerankan sosok Geralt of Rivia. Dari soal fisik, cara ia bertarung, dan mimiknya, ia memang pas sebagai sosok Geralt.

Para pemeran lainnya, entahlah. Aku sepertinya sama dengan para fans games "The Witcher", berharap para pemerannya juga deskripsinya sesuai dengan yang ada dalam gamenya, tidak diubah-ubah seenaknya dengan alasan demi menunjukkan keberagaman ras.

Aku kecewa. Netflix seolah-olah memanfaatkan nama besar game "The Witcher"  tapi kurang menghormati jalan cerita dan karakter dalam novel dan game ini. Hal yang sama ketika mengadopsi serial manga dan anime "Cowboy Bebop", di mana karakter tokoh dan jalan ceritanya diubah seenaknya.

Jika "Cowboy Bebop" kemudian di-cancel karena para fans kecewa, bisa jadi "The Witcher" mengalami nasib serupa. Atau setidaknya penulis skenarionya diganti. Karena bagian paling kurang dari serial ini adalah ceritanya.

Sungguh disayangkan kisah "The Witcher" yang berpotensi bisa sukses besar seperti "Game of Thrones" menjadi serial yang adaptasinya acak-acakan. Sungguh hanya Henry Cavill sebagai Geralt of Rivia yang membuat serial ini masih menarik ditonton.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun