Ramen adalah salah satu masakan Jepang yang populer, yang merupakan adopsi dari gaya penyajian mie China. Sejak diperkenalkan di Jepang sejak tahun 1910-an, ramen terus berkembang. Salah satu gaya dan variasi ramen yang terkenal adalah tsukemen, di mana mie dan kuahnya disajikan terpisah, dengan kaldu yang kaya cita rasa. Gaya ini diperkenalkan oleh Kazuo Yamagishi yang mendapat julukan God of Ramen.
Taishoken adalah kedai ramen yang dibuka oleh Kazuo Yamagishi sejak tahun 1961. Ia membukanya setahun setelah menikah, dan mengelolanya bersama istrinya. Tahun demi tahun ramennya dikenal luas dan dicintai. Ada banyak orang, termasuk pemilik kedai ramen yang mendaftar untuk magang di kedainya, sebulan hingga bertahun-tahun.
Peserta magang kemudian membuka kedai ramennya sendiri dengan nama yang sama, Taishoken. Yamagishi tak pernah menjadikannya franchise. Ia tak pernah mempermasalahkan nama kedainya dipakai anak didiknya. Ia sudah puas dengan berjualan di kedainya dan melihat anak didiknya sukses.
Kedai ramen yang dikelola Yamagishi sangat populer. Setiap hari antrian pengunjung sangat panjang. Yamagishi melakukan persiapan sejak pukul 04.00. Ia dengan sigap dan cekatan melayani pembeli dibantu para pegawai magang. Hingga suatu ketika ia jatuh sakit hingga berbulan-bulan. Kedai dikelola anak didiknya. Antrian di depan tokonya kemudian menghilang.
Sebuah Dokumenter Tentang Buah Kerja Keras dan Konsistensi
Dokumenter yang disutradarai oleh Takashi Innami ini dirilis tahun 2013. Sepanjang 90 menit, penonton diajak menyaksikan dinamika kedai ramen Taishoken.
Bagi pecinta kuliner, dokumenter ini akan memberikan wawasan dan pengalaman yang menyenangkan. Yamagishi sangat teliti dalam menyiapkan kuah dan mienya. Jika misalkan pegawai magangnya lupa menambahkan sarden di kuali yang besar, ia akan langsung tahu.
Berjam-jam di dapur yang kecil setiap hari, kecuali hari Rabu, membuat Yamagishi kadang-kadang terkejut dengan situasi di luar kedainya. Yamagishi sendiri dikenal hangat, namun ia akan mulai menjaga jarak ketika ditanya tentang isi di sebuah ruangan dan loteng, yang rupanya banyak menyimpan kenangan akan istrinya yang telah meninggal.
Selama berbulan-bulan dengan sabar, Takashi merekam dinamika kedai ramen yang terletak di Ikebukuro tersebut. Ia melakukan wawancara ke pelanggan setia Yamagishi yang sudah belasan tahun setia makan siang di sana, ia juga merekam eks pemagang yang sukses membuka belasan kedai Taishoken, juga ketika Yamagishi dirawat di rumah sakit.
Nuansa film ini dinamis. Di awal penontoj merasa gembira dan kagum dengan suasana kedai yang selalu ramai dan dapur yang hidup. Tone berubah menjadi sendu ketika Yamagishi kolaps dan harus dilarikan ke ruma sakit. Setelah itu suasana makin muram ketika kedai mulai sepi, hingga penjualan menurun, kurang dari 50 persen hari-hari sebelumnya. Lalu kembali cerah ketika Yamagishi kembali pulih, hingga kemudian terjadi sesuatu.
Ini adalah sebuah dokumenter yang menarik tentang buah kerja keras seseorang yang mencintai pekerjaannya. Selama 46 tahun Yamagishi konsisten dan disiplin dalam menyiapkan ramennya. Kini hasil kerja kerasnya telah tersebar di berbagai sudut di Jepang lewat anak didiknya. Tsukemen, gaya penyajian ramennya, menjadi salah satu yang mewarnai industri kuliner Jepang.
Duh aku terharu menyaksikan film dokumenter ini. Film ini bisa disaksikan di Japanese Film Festival (JFF) 2022 hingga 27 Februari. Sebuah film yang sayang dilewatkan. Skor: 8/10.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H