Film ini memiliki tone yang muram dan sedih. Meski demikian ada secarik kehangatan yang ditularkan oleh kakak perempuan Rahim, Malileh dan suaminya, Hossein. Keduanya masih mendukungnya dan mengingatkan bila ia salah berpijak. Anaknya, Siavash, dengan keterbatasannya, ikut membantu ayahnya. Demikian pula dengan kekasihnya, Farkondeh, yang juga merasa ikut frustasi dengan segala hal yang menimpa kekasihnya.
Ada banyak pesan moral yang terkandung dalam film ini. Kehidupan memang keras dan tak seperti dalam kisah dongeng, sehingga kita harus berhati-hati dalam bersikap. Ketika kita berbohong dan kita menggenggam erat kebohongan tersebut, maka bersiap-siaplah kita berbohong untuk yang kedua dan seterusnya. Dan ketika kita berkata benar, orang-orang di sekeliling mulai meragukan kita.
Film ini tak hanya menyentuh lewat cerita, pesan, dan akting para pemainnya. Film ini juga menyentuh lewat gambar-gambarnya. Situasi di penjara dibenturkan dengan gambaran dunia yang bebas. Tempat-tempat seperti rumah di gua dan tebing kapur itu terasa eksotik.
Asghar Farhadi, selaku sutradara dan penulis kisah ini cerdik. Ia membiarkan para karakter tak hitam putih sehingga lebih membumi. Rahim memang punya masa lalu terkait utang yang kurang baik, tapi apakah ia tak berhak untuk bebas dan mendapatkan kesempatan kedua? Demikian pula dengan Bahram, pihak yang memberikan utang dan menjebloskan Rahim ke penjara. Apakah ia salah senantiasa mencurigai mantan adik iparnya tersebut dan menolak menerima seperempat uang utangnya dari Rahim?
Solusi cerita dalam film ini dibiarkan apa adanya sehingga lebih sesuai realita pada umumnya.
Sebuah cerita yang emosional besutan dengan akting memikat dari Amir Jadidi. Skor 8.2/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H