Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Merasa Cemas Hendak WFO

1 Januari 2022   21:15 Diperbarui: 2 Januari 2022   14:12 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pressfoto/freepik.com

Kantor-kantor sudah mulai menerapkan kerja penuh lima hari. Ada pula yang memberikan kelonggaran dengan kuota 75 persen karyawan tiap harinya. Namun tak sedikit yang masih full WFH, seperti yang kualami. Ketika ada kabar akan mulai kembali WFO, aku merasa cemas.

Aku ingat sekitar tanggal 23 Maret 2020 kami mulai bekerja tak lagi di kantor. Sejak itu kami mulai memaksimalkan sarana digital untuk bekerja.

Sebenarnya hal ini sudah jamak kami lakukan. Kami selama ini sudah terbiasa menggunakan penyimpanan cloud untuk menyimpan file dan bekerja secara kolaborasi. Tak jarang kami juga menggunakan media rapat daring ketika mendapatkan klien di luar kota.

Tapi semenjak pandemi, hal ini seolah-olah menjadi kebiasaan. Alhasil uang transportasi pun diganti dengan uang untuk membeli kuota internet.

Setelah kasus Covid-19 mereda, karyawan diberikan pilihan untuk WFO atau WFH. Aku masih setia dengan WFH. Aku sudah telanjur nyaman bekerja dengan kaus dan celana longgar di kamar.

Paginya bisa memasak untuk sarapan. Siangnya juga masih sempat memasak sendiri. Ya, antara bekerja dan urusan rumah tangga jadinya lebih terkelola dan seimbang selama bekerja dari rumah.

Ketika atasan berkata ada kemungkinan semua kembali seperti sediakala, kami bekerja kembali di kantor kami atau ke kantor klien, aku jadi mulai cemas.

Hal yang sama juga dialami oleh kawanku yang sudah punya momongan. Ia juga jadi mikir-mikir untuk terus bekerja karena sudah telanjur nyaman berbagi waktu merawat anak dan bekerja.

Aku mulai merasai kecemasan. Aku cemas dengan penampilan fisikku yang kurang terawat. Wajah kusam, uban mulai nampak, dan berat badan bertambah.

Aku juga mulai cemas memikirkan transportasi. Ke kantor saja mungkin bukan urusan besar, tapi ketika kami harus sering-sering ke klien untuk mengumpulkan data, diskusi atau presentasi, ini yang mencemaskan. Tak sering klien lokasinya di tempat yang rawan macet atau nun jauh di sana. Dari ujung timur kami harus ke ujung barat atau ke bagian utara.

Aku juga cemas akan bertambah banyak orang. Bertemu teman-teman sekantor, rekan dari divisi lain. Ah jika semuanya sudah kembali bekerja penuh maka aku bisa bertemu dengan ratusan atau ribuan orang. Wah kenapa sekarang aku jadi mulai cemas ya.

Gangguan kecemasan, seperti cemas bertemu orang dan cemas terhadap hal-hal lainnya ini rupanya bertambah sejak era pandemi. Ada begitu banyak situs portal yang melansir bahwa gangguan kecemasan dan depresi meningkat selama pandemi.

Salah satunya dilansir dari CNN Indonesia (11/9) yang menyebutkan selama pembatasan sosial angka tersebut meningkat tajam. Berdasarkan Penelitian Lancet Regional Health di Amerika, tingkat kecemasan dan depresi ringan menjadi 42 persen. Awalnya 32 persen pada tahun 2018. Sedangkan tingkat sedang dan berat menjadi 10 persen.

Dari penelitian tersebut rupanya responden perempuan lebih mudah stress dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan saat bekerja di rumah, perempuan juga mengurus rumah tangga dan mengajar anak-anak mereka.

Ini benar selama bekerja di rumah, tugas perempuan naik berkali lipat. Ia juga bekerja tapi juga menemani anak belajar, menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam, juga mengurus semua urusan rumah tangga.

Tapi reaksi tiap perempuan bisa berbeda-beda. Kalau aku karena sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah dan belum ada momongan jadinya malah merasa lebih nyaman bekerja di rumah. Dan malah mulai dilanda kecemasan ketika akan kembali bekerja di kantor dan bertemu banyak orang.

Ah aku sejak tahun lalu saja sudah enggan menerima telpon, kini juga mulai malas bertemu orang. Ada yang menyebutnya fobia sosial, hikikomori alias suka menyendiri  atau taijin kyofusho yang berkaitan dengan malu bertemu karena penampilan fisik.

Ya mungkin karena sudah merasa nyaman di rumah saja dan jarang bertemu orang, aku jadi punya tingkat kecemasan dan merasai fobia sosial.

Ya, untungnya masih skala rendah. Kayaknya aku harus mulai diet nih dan kembali menata penampilan agar tak cemas bakal diledek kawan-kawan apabila sudah bekerja penuh di kantor.

Omong-omong apakah kalian juga pernah merasai hal yang sama? Ada rasa kuatir berlebihan karena terlalu sering berada di rumah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun