Tentang komunikasi dan bentuk perhatian ke pembaca juga pernah diterapkan oleh Jawa Pos dalam bentuk Dewan Pembaca. Para pembaca loyal diseleksi dan kemudian diajak menjadi Dewan Pembaca.Â
Mereka ibaratnya pengguna kartu prioritas di sebuah bank, diajak makan-makan, kumpul-kumpul, dan bisa ikut urun rembug secara periodik. Dewan Pembaca ini bergantian. Aku tidak tahu apakah ia masih ada. Tapi ide ini menarik, membuat Pelanggan loyal merasa diperhatikan.
Platform jurnalisme warga kerap membuat grup WA untuk menjembatani antara pengelola dan penulis. Dengan demikian penulis benar-benar diperlakukan sebagai aset, pendapatnya dianggap penting.
Bagaimana Bila Kompasiana Menjadi Medium CSR?
Satu lagi yang mengusik yakni masih soal finansial. Akhir-akhir ini Kompasiana dituntut untuk banyak menghasilkan keuntungan, tapi bagaimana bila model bisnis tersebut diubah.Â
Bagaimana bila Kompasiana menjadi wadah CSR Kompas Group. Ia menjadi medium CSR Kompas Group dalam menyebarkan semangat literasi dan mengajak warganet aktif berbagi opini. Itu sebuah tujuan yang mulia.
Dengan demikian para punggawa Kompasiana bisa bekerja dengan lebih fokus mengutamakan kualitas konten, tidak pusing dengan urusan finansial. Wajah-wajah admin K dan mas Nurul juga bisa lebih cerah dan ceria seperti dulu.
Namun itu hanya usulan.
Ya tulisan berseri ini harus berakhir di sini. Keempat tulisan ini hanyalah kritikan dan usulan agar Kompasiana mendatang tetap eksis dan lebih baik.
Mendatang si penulis akan kembali menjadi 'kucing yang jinak' tidak lagi memasang cakar dan berpura-pura menjadi macan. Penulis akan kembali menulis hal-hal yang ringan.
Semoga Kompasiana selalu baik-baik saja!