Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Cerita Pemanggilan Ruh Leluhur dalam "Marapu: Fire & Ritual"

1 Desember 2021   13:41 Diperbarui: 1 Desember 2021   14:02 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbagai suku di Indonesia meyakini ruh alias spirit leluhur tidak pernah meninggalkan desa mereka. Spirit leluhur memberikan pengayoman dan perlindungan bagi anak cucunya. Ketika terjadi sebuah peristiwa kebakaran desa di desa Sodan, Sumba Barat, para sesepuh merasa spirit leluhur mereka ikut pergi. Mereka pun berencana melakukan ritual untuk memanggil ruh leluhur. Aktivitas tersebut terekam dalam film dokumenter berjudul "Marapu: Fire & Ritual".

Marapu adalah sebuah kepercayaan yang dianut sebagian orang Sumba. Mereka memuliakan ruh atau arwah leluhur. Pemeluk Marapu meyakini leluhur mereka hidup kekal di dunia ruh.

Para leluhur yang semasa hidupnya berbuat baik dan memenuhi norma adat maka akan memasuki Parai Marapu. Para Marapu akan melindungi anak keturunannya dan menjadi perantara antara dunia manusia dan duniah ruh juga perantara dengan Penciptanya.

Dalam film berjudul "Marapu: Fire & Ritual" ini ada alasan khusus mengapa ada warga yang mengusulkan untuk melakukan ritual pemanggilan Marapu. Ritual Yaiwo.

Pengusulnya adalah Rato Ledi. Ia adalah paman Poho Maga. Ia meyakini ruh leluhur mereka lenyap sejak peristiwa desa terbakar.

Film ini tayang di Jakarta Film Week dan juga JAFF 2022 (sumber gambar: cgv.id)
Film ini tayang di Jakarta Film Week dan juga JAFF 2022 (sumber gambar: cgv.id)

Rato Ledi merasa bersalah dan ikut bertanggung jawab atas ulah keponakannya, Poho Maga. Keponakannya kehilangan anaknya yang tak tertolong saat sakit. Karena begitu sedih dan  marahnya, ia diduga kerasukan setan dan kemudian mengamuk membabi buta. Ia membakar desa yang telah berusia seribu tahun. Ia juga membunuh kuda dan salah satu warga.

Poho Maga sudah ditangkap. Namun setan kembali hadir dan merasuki adik Poho Maga setahun kemudian, sehingga si adik harus dipasung di tempat khusus.

Rato Ledi pun berupaya untuk  mengembalikan reputasi keluarganya. Namun yang lebih utama adalah menyatukan warga desa dan mengembalikan ruh Marapu ke desa agar desa kembali nyaman dan damai seperti dulu.

Ia mengusulkan agar diadakan ritual suci empat hari dengan tarian, doa, dan pengorbanan berupa kerbau dan hewan ternak lainnya. Namun tak semua tetua setuju.

Merupakan Kisah Nyata
Film ini jadi film yang kunanti di Jakarta Film Week 2021. Untungnya film ini juga tayang secara hybrid. Waktu itu saya menyaksikannya di platform Vidio. Nah film ini juga tayang di Jogja-Netpac Asia Festival Film  (JAFF) yang berlangsung hingga 4 Desember 2021.

Ketika membaca sinopsis film yang dibesut Andrew Campbell ini saya langsung tertarik. Ada tema pemanggilan ruh leluhur yang merupakan pelindung. Ini seperti  "The Medium", film horor Thailand yang populer dan menggunakan konsep mockumentary. Bedanya film tentang Marapu ini adalah dokumenter murni. Pelaku dan cerita dalam film adalah kejadian nyata. Ritualnya adalah benar-benar ada.

Dokumenter ini berpijak pada niatan Rato Ledi melakukan ritual pemanggilan ruh. Ia tahu biaya upacara ini akan sangat mahal. Ia harus mengorbankan kerbau dengan ciri perawakan tertentu. Waktu empat hari melakukan ritual juga akan melelahkan.

Proses Rato Ledi membujuk tetua desa terekam di sini. Rupanya ada alasan tertentu yang membuat ada pihak yang melakukan penolakan. Rato Ledi terus berupaya membujuk dengan melobi tetua lainnya.

Film ini menurut saya patut direkomendasikan. Film ini mengangkat kepercayaan asli warga Sumba Barat, yaitu Marapu, yang mungkin belum banyak diketahui. Ia menggunakan dua bahasa, bahasa lokal dan bahasa Indonesia.

Desa Sodan sendiri berada di daratan tinggi Lamboya. Daerahnya masih termasuk susah diakses. Mereka memiliki kultur dan bahasa sendiri.

Dari film ini penonton ikut merasai suasana ritual. Mungkin berbeda dengan ritual yang bernuansa horor seperti "The Medium". Di film ini nuansa spiritualnya masih terasa mistis dengan tarian sederhana yang harus dilakukan secara terus-menerus, diiringi doa atau mantra dengan musik tabuhan drum yang ritmis.

Sebelum upacara juga dilakukan pra upacara dengan pemotongan ayam. Lalu para tetua memeriksa kondisi usus ayam, apakah mereka bakal direstui atau tidak untuk melakukan upacara besar.

Ada banyak hal menarik dari kultur desa Sodan ini. Saya kagum dengan para kru film ini bagaimana mereka bisa mendapat cerita ini dan bisa mendekati tetua desa untuk membuat film dokumentasi. Waktunya pasti cukup lama untuk mendapatkan cerita yang cukup. Dan kru harus mengikuti upacara yang berlangsung hingga dini hari.

Indonesia memiliki banyak suku dan budaya. Pastinya ada banyak cerita menarik yang bisa digali dan direkam dalam rupa film dokumentasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun