Keker, nama restoran itu. Sebuah restoran dengan interior dominan kayu. Kami berhenti untuk makan siang sekaligus makan sore untuk mengisi perut. Aku memesan makanan yang belum pernah kumakan, sup bebalung.
Hujan mengguyur langit Lombok memberikan sambutan yang syahdu. Pesawat yang tumpangi nampaknya ragu untuk turun, kembali naik, menunggu momen yang pas untuk turun. Akhirnya kami tiba di Lombok, hari pertama ini rencananya singgah ke Sirkuit Mandalika, momen yang ditunggu.
Kami berenam dari Jakarta. Satu pesawat adalah mas Haryandi Yansyah yang kenalnya sebatas di dunia maya. Lalu kami berjumpa dengan Hani dari Yogya. Seperti pada umumnya kumpul-kumpul Kompasianer, kami cepat membaur.
Agak lumayan lama kami menunggu. Kami ngobrol sambil membuang waktu. Bercerita ini itu.
Plencing kangkung disajikan duluan. Kangkung disajikan dengan sambal merah yang pedas dan jeruk nipis. Rasanya segar, manis, pedas. Efa dan mba Yayat memesannya. Tampilannya cantik dan menggugah selera.
Akhirnya menu yang kupesan pun tiba. Semangkuk wadah berkuah dengan daging sapi bertulang. Seperti paduan sup iga dan empal gentong, namun lebih ringan. Kaldu sapinya lebih terasa. Sayangnya beberapa potongan dagingnya masih agak liat.
Karena waktunya terbatas maka tak bisa icip-icip masakan khas lainnya. Selain itu juga masih kenyang karena sebelumnya sudah makan roti dari armada buat penumpang.
Keker sendiri memiliki makna di Lombok. Ia adalah salah satu motif tenunan khas Lombok, seperti burung. Artinya adalah kedamaian dan kebahagiaan.
Tempatnya nyaman. Tapi jadwal jalan-jalan sudah menanti. Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat lewat. Yuk dilanjut ke artikel mendatang. Sinyal juga kurang bersahabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H