Halaman rumah kami, di bawah pohon mangga, Â menjadi tempat peristirahatan kucing-kucing yang singgah di kehidupan kami. Ketika aku atau pasangan mencangkul tanah, menyiapkan tempat peristirahatan terakhir bagi kucing yang meninggal, saat itu kami berpura-pura tabah untuk menyampaikan selamat tinggal.
Baru beberapa hari lalu aku memakamkan dua bayi kucing. Saat itu aku sempat menunda proses pemakamannya karena hujan turun cukup deras. Ketika hanya menyisakan gerimis, aku mulai mencangkul tanah.
Kucing-kucing lainnya mengerumuniku. Mereka nampak penasaran. Aku tak bisa menduga emosi mereka saat itu. Apakah mereka sedih dan ikut berbela sungkawa?
Dua bayi kucing itu tak berinduk. Sampai saat ini keberadaan induknya masih misteri bagiku. Aku juga tak mampu menjadi pengganti induknya. Susu sapi tak cocok bagi bayi kucing.
Telah begitu banyak kucing yang singgah ke rumah kami. Entah karena halaman kami cukup lapang sehingga kucing-kucing suka singgah ke sini, dari yang sekadar numpang minum dan tidur di teras, kemudian jadi betah tinggal di sini hingga beranak pinak.
Awalnya adalah kucing bernama Upik, kemudian ada Nori si ibu Nero. Lalu dari Nerolah, kucing-kucing itu hadir. Semua masih memiliki garis keturunan dari Nero. Dan kini Nero seharusnya sudah berusia tujuh tahun.
Aku seharusnya tak memelihara kucing lagi selain Nero. Tapi aku tak bisa mengusir mereka. Mereka muncul dan seolah-olah minta perlindungan dengan mata mereka yang memelas.
Tak semuanya bisa hidup dan berumur panjang seperti Nero. Ada yang sakit, tertabrak, dan hilang. Saat-saat aku menemukan mereka terbujur kaku atau lama tak kunjung pulang adalah sebuah episode kehidupan yang menyedihkan.
Aku tak ingin menangis karena kehilangan si kumis berkaki empat itu. Tapi kucing-kucing selalu hadir tanpa kuminta.
Kini jumlah mereka ada sepuluh ekor. Sebelas jika Nero dihitung, tapi sudah lama Nero tak kunjung pulang. Enam kucing dewasa dan empat anak kucing. Terlalu banyak.