Pada tahun 2021, daerah-daerah di Indonesia rata-rata mengalami kenaikan suhu sekitar 0,99 derajat Celcius apabila dibandingkan kondisi pada tahun 1981. Hal ini salah satunya dikarenakan efek rumah kaca yang kontribusi utamanya adalah emisi karbon. Indonesia sendiri menyumbang emisi karbon sebesar 965,3 juta metrik ton karbon dioksida ekuivalen atau menyumbang 2% emisi dunia berdasarkan data World Research Institute 2020.
Emisi karbon memang lekat dengan kenaikan suhu. Daerah-daerah lainnya di Indonesia setiap tahun juga akan terus mengalami kenaikan suhu apabila mengikuti tren kenaikan suhu sebesar 0,03 derajat Celcius tiap tahun berdasarkan data observasi BMKG mulai dari tahun 1981-2018.
Saat ini kita sudah merasai efek dari kenaikan suhu. Suhu di Jakarta selama periode satu abad menurut BMKG telah mengalami kenaikan sebesar 1,4 derajat Celcius.
Lantas apa yang terjadi apabila suhu terus-menerus naik? Kenaikan suhu ini atau pemanasan global akan memicu sejumlah rangkaian perubahan lingkungan, yang sayangnya lebih ke arah negatif.
Selain menyebabkan gletser di kutub mencair dan mengakibatkan kenaikan permukaan air laut, pulau-pulau bisa terancam tenggelam. Lalu juga bisa memicu bencana lainnya seperti hawa ekstrem yang tak bersahabat bagi kondisi manusia dan hewan, kerusakan terumbu karang, gagal panen, juga munculnya wabah penyakit dan ancaman kelaparan.
Melihat dampak besar dari pemanasan global yang dipicu emisi karbon maka pemerintah Indonesia ikut berkomitmen bersama negara-negata lainnya untuk menjaga agar kenaikan suhu dapat tetap di bawah 1,5 derajat Celcius sampai tahun 2030, di mana angka tersebut ditetapkan sebagai ambang batas kritis iklim sesuai Perjanjian Paris 2015.
Pemerintah sendiri kemudian mencanangkan sejumlah program untuk menekan efek rumah kaca dengan program emisi nol persen (net-zero emission) tahun 2060. Salah satunya dengan konversi energi fosil ke energi baru dan terbarukan.
Saat ini sudah gedung perkantoran dan pabrik mulai berangsur mengunakan energi surya sebagai sumber listrik. Di Indonesia juga mulai banyak dibangun pembangkit listrik dengan tenaga air, bayu, tenaga panas bumi dan lain-lain
Jadinya sebenarnya perubahan ke energi baru terbarukan itu sesuatu yang mungkin, meski untuk rumah tangga masih agak berat karena harga sel surya masih mahal dan masih belum banyak penjualnya. Tapi ke depan itu bukan sesuatu yang mustahil. Saat ini juga mulai ada perumahan dengan panel surya atap.
Indika Energy sebagai salah satu perusahaan sektor energi juga mendukung langkah pemerintah dan menargetkan net-zero emission pada tahun 2050. Di antaranya dengan mendukung kendaraan listrik dan melakukan konservasi lahan hutan yang dimiliki oleh perusahaan.
Sebenarnya apa sumber dari emisi karbon?
Emisi karbon dilansir dari web sustaination merupakan "gas hasil dari berbagai aktivitas pembakaran senyawa-senyawa yang mengandung karbon".
Emisi karbon ini selain berasal dari pembakaran di dunia industri juga dilakukan oleh aktivitas manusia, seperti berkendara dengan bahan bakar fosil, menggunakan energi listrik yang sumber energinya dari bahan bakar fosil, menggunakan kertas, dan masih banyak lagi.
Lantas bagaimana menguranginya apakah dengan mengurangi pergerakan dan aktivitas manusia? Isu utamanya sebenarnya bukan dari pergerakan dan aktivitas, melainkan bahan bakarnya.
Apabila bahan bakarnya energi baru dan terbarukan maka tak masalah untuk sering bepergian. Atau sebagai langkah kongkret menguranginya untuk kondisi saat ini, yaitu dengan menggunakan kendaraan umum seperti kereta dan bus atau dengan mengurangi bepergian seperti bekerja dari rumah yang mulai jamak pada masa pandemi ini.
Cara lainya yaitu dengan cara menyerap emisi karbon tersebut yaitu dengan mencegah kebakaran hutan dan deforestasi, dan tentunya dengan memperbanyak area hijau.
Bagaimana dengan lingkup rumah tangga, apa yang bisa dilakukan?
Harga panel surya atap masih mahal dan memerlukan kemampuan untuk memasangnya. Tapi beberapa tahun ke depan, hal ini akan semakin memungkinkan. Dan siapa tahu bisa jadi tren tersendiri.
Saya sendiri termasuk yang masih pemula dalam urusan berkontribusi menurunkan emisi karbon. Untungnya saat ini pekerjaan masih dilakukan dari rumah (WFH) sehingga lebih banyak di rumah dan tidak banyak bepergian.
Ya, ini sisi lain dari pandemi, yang membuka kemungkinan untuk bekerja dari rumah dan rupanya bisa untuk sebagian bidang pekerjaan, seperti saya yang bekerja di bidang teknologi informasi. Pasangan juga demikian, hanya tiga hari seminggu ia bekerja di kantor, sehingga jejak karbonnya lebih sedikit dibandingkan biasanya.
Selain mengurangi bepergian, yang bisa saya lakukan untuk mengurangi emisi karbon adalah bertanam dan mencoba hidup minimalis. Mengapa? Karena bertanam membantu untuk penyerapan karbon. Sedangkan dengan hidup minimalis, saya juga mencoba mengurangi jejak karbon.
Di lingkungan tempat tinggal kami diwajibkan menanam minimal lima tanaman, bisa dalam pot atau langsung di tanah halaman. Untuk hal ini sudah ada banyak tanaman yang saya tanam.
Dulunya kami juga punya pohon. Namun karena pohon mangganya sakit, maka kami terpaksa menebangnya. Kami pun hendak menggantinya dengan pohon mangga lainnya. Sementara kami saat ini bertanam di pot-pot, terutama tanaman hias. Selain mempercantik rumah, juga menjadi sumber oksigen dan penyerap karbon dioksida.
Lalu saya juga mencoba untuk hidup minimalis dengan berbelanja secukupnya, baik bahan makanan maupun lainnya, meski ternyata agak susah untuk melakukannya. Saya selalu sedih jika ada bahan makanan yang tak terpakai karena saya lalai. Akhirnya ia hanya menjadi kompos. Oleh karenanya saya mencoba untuk berbelanja makanan dan memasaknya secukupnya, agar tak terbuang.
Sampah-sampah bahan makanan, seperti kulit bawang, potongan sayur yang tak terpakai, dan kulit telur saya kumpulkan dalam komposter. Ia selama beberapa hari kemudian bisa menjadi pupuk cair.
Berkaitan dengan mencoba hidup minimalis ini, saya juga mencoba untuk tak banyak tergoda promo belanja daring. Hal ini dikarenakan belanja daring menambah kardus dan plastik. Berapa banyak energi dalam membuat plastik, begitu juga berapa banyak pohon yang ditebang untuk membuat kardus?
Memang sulit untuk hidup minimalis dan saya masih berupaya mencobanya. Kardus-kardus yang ada di rumah itu saya kumpulkan dan saya berikan ke petugas sampah untuk dijual oleh mereka. Sedangkan plastik pembungkus saya kumpulkan dan saya gunakan lagi apabila mengirim barang, sehingga tak terbuang sia-sia dan menjadi limbah.
Saya juga berupaya menghemat listrik. Rumah ada banyak bukaan, berupa jendela dan ventilasi. Sedangkan atap rumah lumayan tinggi sehingga hawa terasa segar dan tidak begitu panas. Dari pagi hingga sore hari saya tak menyalakan lampu rumah, cukup terang dari sinar matahari. Kami juga tak menggunakan AC, hanya kipas angin apabila hawa begitu gerah. Alhasil beban listrik kami juga tidak begitu besar.
Selain bertanam, berhemat listrik, dan mencoba hidup minimalis, kami juga mulai untuk mengadopsi pohon yang dilakukan oleh sejumlah komunitas dan perusahaan. Adopsi pohon ini juga diadakan di Gunung Halimun dan juga hutan-hutan di Riau. Hanya dengan Rp 50 ribu, masyarakat sudah mulai bisa mengadopsi pohon. Dengah demikian masyarakat juga terlibat dalam mendukung gerakan nol-zero emission.
Referensi: satu, dua, tiga, empat, lima, enam, dan tujuh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H