Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Kisah Gadis yang Mimpinya Terpasung Kondisi dan Intepretasi Puisi-puisi Sapardi dalam "Yuni"

18 Oktober 2021   19:26 Diperbarui: 19 Oktober 2021   03:23 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yuni digambarkan penggemar warna ungu | sumber gambar: hai.grid.id

Popularitas film "Yuni" meroket ketika meraih penghargaan bergengsi dalam ajang Toronto International Film Festival (TIFF). 

Tiket pertunjukannya di Vancaover International Film Festival (VIFF) dan pertunjukan terbatas di beberapa kota pun cepat ludes. 

Menurut saya film ini memang pantas meraih banyak apresiasi. Film ini merupakan intepretasi yang menarik tentang puisi-puisi sang maestro, Sapardi Djoko Damono. Film ini juga memberikan gambaran seorang gadis bernama Yuni yang mimpi-mimpinya terpasung oleh kondisi sekeliling.

Awalnya saya tak mengira film ini memiliki roh dari puisi-puisi eyang Sapardi. Ketika melihat kecintaan dan penghargaan sang sutradara, Kamila Andini terhadap puisi Sapardi, saya berpikir hanya sebatas apresiasi dan penghormatan terakhir kepada maestro puisi Indonesia. 

Namun rupanya tidak hanya itu, film "Yuni" adalah wujud penghargaan dan intepretasi Kamila terhadap puisi-puisi Eyang Sapardi dikombinasikan dengan situasi yang dialami tokoh utama bernama Yuni yang lahir pada bulan Juni.

Film ini bercerita dengan jujur tentang mimpi-mimpi remaja putri dan situasi yang masih kurang kondusif di sekitar Cilegon, Banten. 

Yuni (Arawinda Kirana) adalah gadis yang pintar dan memiliki pemikiran progresif. Ia cerdas secara akademik, juga aktif di kegiatan olahraga seperti pencak silat. 

Ia hanya lemah ke warna ungu, ia terobsesi dengan warna ungu sehingga kadang-kadang melakukan perbuatan konyol untuk mengoleksi benda warna ungu.

Yuni digambarkan penggemar warna ungu | sumber gambar: hai.grid.id
Yuni digambarkan penggemar warna ungu | sumber gambar: hai.grid.id
Oleh guru BK, Bu Lies (Marissa Anita), ia disarankan untuk mengambil beasiswa perguruan tinggi. Namun ada saran untuk tidak menikah dulu dan fokus ke studi.

Sementara Yuni sendiri sudah dua kali dilamar. Ia memang gadis yang menarik. Ia sendiri mengagumi guru bahasa Indonesia, Pak Damar (Dimas Aditya). Meski tak pandai memahami dan membuat puisi, seorang adik kelasnya, Yoga (Kevin Ardilova) yang diam-diam menyukainya, kerap membantu mengerjakan tugasnya. Hingga suatu ketika Yuni mendapat lamaran ketiga kalinya. 

Menurut mitos, pamali apabila lamaran yang ketiga ditolak. Si gadis yang menolak bisa jadi kemudian akan berat jodoh atau malah tak bisa menikah.

Sebuah Film yang Puitis dan Angkat Kondisi Sosial di Banten

Jika melihat latar pantai sepertinya lokasi latar film ini berada di sekitar daerah Cilegon, Banten. Di sini masyarakatnya banyak menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Sunda khas Banten.

Isu-isu kondisi sosial di daerah tersebut pun diangkat di film ini dengan luwes, tanpa terkesan menggurui dan membuat filmnya jadi berat. Dari masih banyaknya pernikahan di bawah umur, remaja perempuan yang kesulitan meneruskan pendidikan karena kondisi keuangan dan kondisi sosial masyarakat, isu poligami, mitos-mitos, isu lingkungan, dan juga isu lainnya yang kontroversi.

Yuni seperti remaja pada umumnya, ia hanya ingin bisa meraih mimpi | sumber gambar: Parapuan
Yuni seperti remaja pada umumnya, ia hanya ingin bisa meraih mimpi | sumber gambar: Parapuan

Yuni di sini ditampilkan seperti remaja pada umumnya yang rasa penasarannya tinggi. Ia juga suka bergosip, nongkrong bersama kawan-kawannya, dan berdandan. Ia memiliki kawan yang trendi, seorang pemilik salon bernama Suci (Asmara Abigail).

Dari segi visual, film "Yuni" menurutku tampil apa adanya. Gambar-gambarnya lugas, tidak dibuat dramatis atau memberikan kesan yang sinematik.

Bobot film ini adalah dari muatannya, yang isu-isunya dekat dengan keseharian, terutama tentang remaja perempuan dan juga memiliki nilai-nilai yang humanis. Para pemeran dalam film ini juga nampak bekerja keras untuk bisa menggunakan bahasa daerah dengan luwes.

Arawinda Kirana sebagai Yuni dan Neneng Wulandari sebagai Sarah, sahabat Yuni, menarik perhatian selama film ini. Demikian juga dengan Kevin Ardilova, Marisa Anita, dan Dimas Aditya semua tampil apik.

Arawinda Kirana sendiri menarik perhatian sejak ia tampil di film omnibus "Quarantine Tale". Ia berperan sebagai Adin yang mengikuti lomba vlog lalu hadiahnya hendak dijual ayahnya untuk membayar utang. Ia mendapatkan piala Maya 2020 sebagai aktris pendatang baru atas performanya tersebut.

Kamila sendiri lahir dan besar di lingkungan sineas film. Ayahnya adalah sutradara besar, Garin Nugroho. Namun ia berhasil lepas dari bayang-bayang kebesaran nama ayahnya dan menciptakan film dengan gayanya sendiri.

Sebelumnya Kamila sukses dengan film "Sekala Niskala" yang kental dengan mitos dan tradisi anak kembar di Bali. Filmnya ini juga melalang buana ke berbagai festival film dunia seperti TIFF dan Festival Film International Berlin. Karya filmnya yang lain di antaranya "Sendiri Diana Sendiri" dan "The Mirror Never Lies".

Tentang mitos, mitosnya memang umum dijumpai seperti jangan duduk depan pintu dan juga tentang pamali menolak lamaran dua kali. Untuk warna ungu sendiri yang lekat dengan Yuni, ia melambangkan beberapa hal, warna ungu bisa bermakna ambisi, mandiri, kekuasaan, juga bisa berarti duka dan rasa frustasi.

Tentang isu perjodohan dan anak gadis yang seolah-olah dilarang sekolah tinggi mengingatkan pada film berjudul "Flesh Out" yang tayang di Europe on Screen 2020. Sama dengan Yuni, tokoh dalam film juga terpaksa menjalani perjodohan dan tidak bisa meneruskan mimpinya.

Namun yang paling membuat saya tersentuh dalam film yang diproduksi Fourcolours Films ini adalah kentalnya referensi puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dalam film ini, dari puisi "Hujan di Bulan Juni" hingga "Aku Ingin". 

Kamila sepertinya benar-benar penggemar Eyang Sapardi dan memberikan karyanya ini sebagai bentuk penghargaan. Film ini makin kental dengan unsur Sapardi dengan munculnya tembang musikalisasi puisi Sapardi yang dibawakan Reda Gaudiamo dan Ari Malibu.

Oh iya, omong-omong durasi versi bioskop Indonesia dan versi festival berbeda. Waktu itu saya menyaksikan film ini secara streaming di VIFF dengan durasinya sekitar 90 menit. Tapi versi bioskopnya berkisar 2 jam. Ini membuat saya juga penasaran tentang letak perbedaannya. 

Sayang kemarin pemutaran terbatasnya hanya di satu bioskop dan satu pertunjukan di Jakarta. Film ini sendiri akan bisa disaksikan secara reguler pada 9 Desember mendatang.

Yuni belajar di lingkungan sekolah yang Islami | sumber gambar: CNNIndonesia
Yuni belajar di lingkungan sekolah yang Islami | sumber gambar: CNNIndonesia

Film yang diproduseri Ifa Isfansyah ini berhasil meraih 14 nominasi Festival Film Indonesia 2021. Ia berada di nomor dua urutan terbanyak perolehan nominasi, di belakang "Penyalin Cahaya" yang meraup 17 nominasi piala Citra. Film yang meraih Platform Prize di ajang TIFF 2021 ini juga didaftarkan ke ajang Oscar 2022 kategori film berbahasa asing.

Sebuah film yang puitis dengan isu sosial tentang remaja putri yang menggambarkan kondisi yang masih terjadi hingga masa kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun