Aku semakin ragu ini mimpi karena begitu lama dan lelah dinginnya terasa nyata. Tapi hutan dan makhluk-makhluk yang kutemui sebagian rasanya tak nyata. Seperti dalam cerita fantasi.
- - -
Aku hampir terlelap sebelum sebuah suara membangunkanku. Seekor macan. Wahhhh aku berteriak.
Teriakanku memecah kesunyian. Bodoh. Aku ketahuan. Apa boleh buat siapa yang tak takut dengan macan?
Eh ia buat macan. Ini Nero. Ini Nero...ooh. Nero badannya membesar. Empat kali lipat dari ukurannya. Ia nampak ganteng dan gagah. Ooh Nero, aku memeluknya. Rasanya begitu hangat. Aku menangis sambil memeluknya erat.
Nero berkata padaku agar aku naik ke punggungnya. Ia menyodorkan semacam jubah ala-ala kesatria abad pertengahan dalam "Johan dan Pirlouit". Ia juga memberiku pedang.
Weiiits pedangnya berat sekali. Sambil menerimanya, aku berpikir kencang bagaimana Nero membawa jubah dan pedang tadi. Apa ia punya kantung ajaib. Kuamati Nero. Ia hanya mengenakan semacam zirah. Nero membentakku. Ayo cepat naik, ada yang akan datang.
Nero memberitahuku lewat telepati. Beberapa bagian hutan yang ganjil adalah ulahku. Ketakutanku bermanifestasi. Hutan ruwet di depan juga ulahku. Pikiranku yang sedang ruwet penyebabnya. "Hei? Aku ruwet salah satunya gara-gara mikir kamu, Nero". Aku menyentil kupingnya.
Aku mendengar sesuatu. Hewan buas. Duh aku telanjur melihatnya. Ada kawanan serigala mengejar. Kami nampaknya tak lolos. Mereka begitu kencang.
Nero memarahiku. Ia memintaku fokus agat bisa ke luar dari hutan. Aku membayangkan kami berdua terbang, menerebos hutan.
Aku membuka mata. Eh kok tetap hutan ruwet. Di belakang, moncong serigala rasanya menyundulku. Wah ini nggak benar. Nero ayo lebih kencang lagi larinya.