Di bagian transportasi, pembaca akan tergelak membaca suka duka naik ojek, sensasi naik ojek sepeda, bajaj, bemo, dan bus tingkat. Tak semua jenis transportasi ini masih eksis saat ini sehingga membaca komik ini berasa seperti nostalgia. Di Jakarta beberapa profesi juga mulai menghilang seperti juru foto keliling sehingga komik ini merekam profesi yang pernah eksis di Jakarta.
Dalam buku kedua lebih berfokus pada masa reformasi. Ada masa krisis, reformasi dan huru hara Pemilu tahun 1999.
Komik ini menggambarkan keserakahan pihak-pihak tertentu, menghambur-hamburkan uang negara dan kemudian mereka kabur atau saling menyalahkan ketika kondisi sudah tak terkendali.
Kondisi penarikan uang besar-besaran dan orang-orang yang menimbun sembako juga tak luput dari sorotan. Harga-harga barang yang naik menjadi keluhan masyarakat sehingga kemudian muncul tips cara berhemat minyak goreng, misal menggoreng telur dengan bantuan daun pisang.
Yang menyedihkan adalah bagian cerita tentang kerusuhan dan penjarahan. Suasana Jakarta yang mencekam juga dibidik di komik ini. Situasi setelah demo dan pemilu tahun 1999 juga tak kalah menarik untuk dicermati.
Buku tentang 100 tokoh yang mewarnai Jakarta bukan tentang tokoh-tokoh besar atau selebriti, melainkan orang-orang biasa di Jakarta dengan profesi atau tampilan unik. Ada pencari kodok, penjual baskom, maling besi, jamet (Jawa metal), polisi cepek dan masih banyak lagi. Hahaha bikin tertawa dan juga nostalgia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H