Mereka sebagian adalah istri-istri yang ditinggal suami dalam bui. Di antara mereka ada yang sedang hamil, bahkan terpaksa menyusui di tempat yang sebenarnya kurang layak bagi tumbuh kembang si buah hati.Â
Kisah anak-anak yang lahir dan besar di dalam bui ini tersaji dalam film berjudul "Invisible Hopes" yang tayang sejak Kamis, 27 Mei 2020 di sejumlah bioskop.
Selamat datang di Rumah Tahanan Pondok Bambu. Penonton lewat film dokumenter ini diajak untuk menjelajahi rumah tahanan khusus perempuan.
Di sini setiap pagi ramai penjual makanan yang menawarkan beragam panganan, dari bubur, donat, aneka gorengan, dan sebagainya. Sebagian penghuninya mulai nampak beraktivitas, seperti mencuci atau menjemur baju atau menunggu antrian mendapatkan air panas. Ada yang hanya duduk-duduk, mengobrol atau bengong menunggu kiriman dari keluarganya.
Di dalam rumah tahanan dengan beberapa blok yang luasnya masing-masing terbatas ini, pada malam harinya sejumlah perempuan dewasa dan anak-anak tidur berdesak-desakan. Kipas angin bergerak di ruangan berupaya keras menjadi pengusir hawa panas.
Ya, ada anak kecil di sana. Rata-rata masih bayi dan balita yang belum genap berusia dua tahun.
Sebagian perempuan di rutan tersebut melahirkan di bui. Mereka dalam kondisi hamil ketika ditangkap oleh polisi dan menunggu vonis. Ada yang kondisi bayinya normal, namun ada pula yang kemudian harus segera dibawa ke rumah sakit.
Midun alias Hamidah adalah salah satu penghuni rutan yang terpaksa melahirkan di bui. Perempuan tomboi berambut cepak ini kerap diledek sebagai papa-papa yang punya anak karena penampilannya yang memang mirip pria. Ia tertawa saja mendengar gurauan tersebut.
Midun harus masuk dalam bui karena ia dan suaminya menjual narkoba. Ia kecewa karena suaminya menjebloskannya dalam penjara, sementara suaminya masih dalam pelarian.
Ketika anaknya lahir, petugas rutan menanyakan apakah anaknya akan diurusnya atau keluarganya. Ia memilih merawatnya sendiri karena kasihan dengan keluarganya yang telah merawat anak-anaknya yang ada di rumah.
Midun tak sendiri. Tak sedikit yang memilih mengasuhnya ke dalam rutan karena tak ada sanak saudara yang bisa membantunya merawat bayi. Alhasil suasana di rutan ramai oleh isak tangis bayi juga anak-anak yang asyik bermain. Mereka seperti anak-anak pada umumnya, polos dan aktif. Mereka hanya belum paham lingkungan mereka adalah bui.
Namun, mereka hanya punya waktu dua tahun untuk mengasuh. Setelah itu anak-anak harus diasuh sanak saudara karena lingkungan bui bukan tempat anak-anak hidup dan bernaung.
Bikin Perasaan Campur-Aduk
Gambaran kondisi rumah tahanan yang menjadi rumah bagi sejumlah anak-anak disajikan selama 105 menit.Â
Di sini penonton diajak menyelami kondisi para perempuan yang sedang hamil selama di dalam bui. Mereka berpisah dari suami, hamil dalam kondisi serba terbatas, dan kemudian mengasuh bayi dengan kondisi minim.
Aku menontonnya sendirian di bioskop. Penontonnua hanya aku sendiri. Mungkin karena waktunya yang belum masuk prime time atau karena topiknya yang tak populer maka film ini tak begitu diminati.
Ketika menyaksikan film ini, perasaanku campur aduk. Hampir saja aku terbuai dan berpihak dengan para perempuan yang di bui dan menyalahkan kondisi tersebut ke petugas rutan. Hingga kemudian aku tersadar, aku harus tetap bisa obyektif meskipun memang tampilan dokumenter ini agak berat sisi menurutku. Salah satu yang harus tetap kupegang, rutan bukan tempat bayi dan anak-anak tumbuh besar.
Ini yang perlu digarisbawahi menurutku ketika menyaksikan film dokumenter ini.
Penonton harus adil ketika menyaksikan film ini. Tindak kriminal tak bisa dimaklumi. Penegak hukum juga tak tahu bila pelaku kejahatan yang ditangkap sedang hamil. Selain itu, juga ada pelaku kejahatan yang menggunakan kehamilan untuk meraih simpati.
Rumah tahanan juga sejak awal bukan tempat untuk membesarkan anak-anak. Oleh karenanya petugas rutan dalam film ini terus menanyakan siapakah yang akan merawat bayi kepada para penghuni rutan yang hamil. Di rutan sudah ada klinik dan dokter, namun biaya melahirkan di luar klinik dan membesarkan anak-anak bukanlah tanggungan rutan.
Di dalam film ini seperti judul bagian pertamanya, "invisible victims", korban sebenarnya dari kejahatan orang tua adalah anak-anak, baik anak-anak yang lahir dan besar di bui, maupun anak-anak yang ditinggalkan di luar sana.
Merekalah yang menjadi korban tindak kejahatan orang tua dan perlu mendapatkan simpati. Seperti anjuran pihak rutan, maka cara pertama adalah segera memindahkan bayi dan anak-anak tersebut ke sanak saudara agar mereka bisa dirawat dengan lebih baik.
Namun memang tak semua penghuni rutan tersebut memiliki sanak saudara yang berkecukupan dan mampu merawat bayi. Ada juga yang punya alasan-alasan lain agar tak dipisahkan dengan buah hati mereka. Mereka tahu konsekuensinya merawat dan mengasuh bayi di dalam rutan.
Tak ada solusi yang ditawarkan dalam film ini. Sebagai penonton kita memang bersimpati ke bayi dan anak-anak tersebut. Apakah ke depan memungkinkan bagi LSM untuk membuat semacam daycare bagi bayi-bayi dan anak-anak rutan tersebut. Setiap pagi dijemput dan sore dikembalikan ke rutan agar mereka bisa tumbuh kembang dengan lebih baik. Siapa tahu ke depan juga ada donasi berupa makanan sehat dan kebutuhan bayi buat mereka yang dikelola dengan baik.
Namun tetap saja usulan solusi ini perlu dikelola dengan hati-hati dan sebaik-baiknya, juga tidak menimbulkan motivasi agar ibu-ibu hamil di rutan kemudian memutuskan mengasuh anaknya di rutan.
Atau bisa jadi ukuran sel diperluas atau jumlahnya dikurangi karena memang satu sel dihuni belasan orang dewasa itu sudah kurang layak dan kurang manusiawi. Perempuan hamil pasti menderita. Apalagi jika di dalamnya ada anak-anak. Sangat gerah dan panas di dalamnya. Kipas angin pun pasti sulit melawan kegerahan tersebut.
Film yang Berani
Dalam film yang disutradarai Lamtiar Horas ini menurutku sedikit berat sebelah penyajiannya. Porsi dari pihak rutannya kurang disorot. Memang bayi dan anak-anak yang besar di rutan itu kondisinya memprihatinkan, tapi juga perlu disorot dari sisi pihak rutannya.
Namun aku salut dengan adanya film ini. Jarang-jarang ada film dokumenter membahas tentang kondisi rutan wanita di Indonesia. Kondisi ini setahuku tak hanya ada di Rutan Pondok Bambu, tapi juga di rutan-rutan lainnya, sehingga tentunya ini merupakan permasalahan serius dan perlu disikapi dengan sebaik-baiknya.
Selain itu pasti tak mudah mendapat perijinan membuat dokumentasi di rutan, lalu mengikuti gerak-gerik penghuni rutan di sini. Kuperhatikan ada banyak percakapan natural penghuni rutan yang tak dipotong. Sehingga memang kosakata yang vulgar dan kasar di antara penghuni rutan ini berbahaya bila ditiru anak-anak di sini.
Dokumenter ini terasa alami. Ada sejumlah kasus yang disampaikan sehingga pastinya prosesnya lama merekamnya. Dari instagram Lam Horas Production, proses syuting rupanya dilakukan selama enam bulan di empat lokasi penjara. Sedangkan keseluruhan proses produksi memakan waktu dua tahun.
Salut dan semoga ada solusinya bagi bayi dan anak-anak tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H