Masjid itu masih berdiri anggun hingga saat ini. Usianya telah jauh melampau usiaku. Aku menjadi salah satu saksinya perubahan-perubahan yang terjadi di masjid itu, sejak ia hanya berlantai satu hingga kini berubah cukup megah.
Masjid itu memang tak seakrab dulu, ketika aku rajin belajar mengaji di sana. Masih kuingat teman-teman yang nakal berlarian ke sana ke sini setelah dapat giliran mengaji, lalu dimarahi petugas masjid.
Aku juga masih ingat ketika kami berkumpul di masjid ini, lalu berkeliling bersama adik-adik melakukan takbir keliling. Atau ketika kami mengadakan bazaar Ramadan lalu hujan deras mengguyur tak henti.
Aku tumbuh dan besar bersama masjid tersebut, sejak aku membuntuti nenekku ke masjid, ketika tangga loteng masjid masih berupa semen dan ditutupi terpal, dan ketika beberapa bulan silam menjadi tempat penghormatan ayah sebelum dimakamkan. Masjid itu memberiku banyak pengalaman dan cerita.
Masjid Al-Mukhlisin, namanya.
Entah kenapa, sejak kecil aku suka mengikuti sholat Id di sana. Ketika kami pernah mengikuti sholat Id di masjid lain, rasanya tak sama, serasa kurang lengkap. Begitu pula ketika aku tak mudik ke Malang, mengikuti sholat Id di Jakarta atau di Subang, rasanya berbeda, dari sejak takbiran hingga kebiasaan jamaahnya bersalaman selepas ceramah dan doa.
Setiap masjid rupanya mampu memberikan atmosfer dan cerita tersendiri yang berkesan bagi pengunjungnya.
Di Malang, tiga masjid besar lainnya yang berkesan bagiku adalah Masjid An-Nur, Masjid Agung Jami', dan Masjid Sabililah.
Masjid An-Nur berkesan karena aku pernah belajar mengaji dan kaligrafi di sini. Ia agak jauh dari rumah dan jadwal mengajinya sejak pukul 14.30, sehingga aku tak bisa bobok siang dulu bila mengaji ke sini. Tapi aku masih ingat tempat mengaji kami di lantai dua, betapa senangnya kami mengikuti pelajaran kaligrafi. Sepulang mengaji aku sesekali bisa jajan es krim rasa buah yang disantap di rumah sembunyi-sembunyi, takut dimintai.
Masjid Agung Jami' merupakan masjid tua yang masuk di kawasan alun-alun kota Malang. Ia dibangun pada sekitar tahun 1890. Sebelum era pandemi, masjid ini selalu ramai oleh wisatawan dari berbagai kota.
Masjid ini memiliki bedug besar. Ia juga punya tempat berwudlu yang khas. Ada kolam air di posisi antara. Kami harus menjinjing rok atau menaikkan celana untuk menyeberanginya.
Memang ada beberapa masjid lainnya yang pernah kukunjungi juga memiliki kolam air seperti itu. Aku tergelak teringat ulah kawanku yang menguras dan mengeringkannya, membuat penjaga masjid kebingungan waktu itu. Menurutku keberadaan kolam air sebagai perantara itu unik karena tak semua masjid memiliki kolam seperti itu.
Masjid satu lagi adalah Masjid di kawasan daerah Blimbing. masjid Sabililah, namanya. Ia masjid besar yang elegan, menyambut pelancong yang tiba di kota Malang.
Dulu ia masjid termegah di Malang. Aku selalu penasaran seperti apakah isinya. Ketika suatu ketika berkesempatan sholat di sana, aku melihat ada pojok mainan untuk anak-anak, dekat tempat berwudlu.
Oh iya ada satu lagi masjid di kota Malang yang unik. Ia ada di Kabupaten Malang, yaitu Turen. Lokasinya tak jauh dari tempat wisata Bon Pring yang lagi hits. Ia adalah Masjid Tiban.
Aku sudah pernah bercerita tentang masjid ini. Ia masjid yang unik dan saat ini jadi salah satu tempat wisata. Hampir setiap hari ada saja bus wisata membawa pengunjung singgah ke sini.
Masih banyak cerita tentang masjid yang pernah kukunjungi. Namun belum ada yang mampu menggeser posisi masjid masa kecilku sebagai masjid yang ada di hati.