Film berjudul "Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak" dan "Sekala Niskala" banyak meraih pujian di ajang film-film internasional bergengsi. Sutradara film tersebut perempuan lho. Mereka masing-masing Mouly Surya dan Kamili Andini. Mereka dua di antara sutradara perempuan tanah air yang memberikan warna di industri film nasional.
Jika dihitung ada sekitar 20-an sutradara perempuan Indonesia. Mereka terdiri dari berbagai generasi di mana jumlahnya semakin meningkat pesat setelah kebangkitan film nasional. Dalam setiap generasi tersebut, lahir film-film hebat dengan ide-ide yang segar.
Sutradara Perempuan Pertama
Hampir sejaman dengan Usmar Ismail, ada aktris cantik yang kemudian menekuni karier sebagai sutradara. Ia adalah Ratna Asmara, yang filmnya dirilis tahun 1951 berjudul "Sedap Asmara" meraih banyak pujian.
Film ini bercerita tentang perempuan yang mendapati suaminya bersama perempuan lain. Ia kemudian terjebak dan jatuh dalam kubangan hitam.
Era 1960 - 1998: Hanya Segelintir
Setelah era Ratna Asmara, sutradara perempuan masih jarang. Hingga tahun 1995, jumlah sutradara perempuan bisa dihitung dengan jari. Mereka adalah  Sofia WD, Ida Farida, dan Chitra Dewi.
Sofia W.D (1924-1986) dikenal sebelumnya sebagai aktris film. Prestasinya di bidang akting memberinya piala Citra sebagai aktris pendukung di film "Mutiara dalam Lumpur" (1973).
Menjadi aktris sejak tahun 1948, ia kemudian menjajal sebagai sutradara. Debutnya sebagai sutradara adalah film berjudul "Badai Selatan " (1960). Ini merupakan sebuah film horor yang masuk seleksi sebagai perwakilan Indonesia di ajang Berlin International Film Festival tahun 1962.
Karya Sofia lainnya yaitu "Singa Betina dari Marunda" (1971), "Tanah Harapan" (1976), "Jangan Menangis Mama " (1977), "Halimun" (1982), dan "Bermain Drama" (1985).
Selain sebagai aktris, penulis dan sutradara, ia juga aktif berorganisasi. Sofia tercatat pernah menjabat Ketua umum PARFI pada 1971-1974. Ia bersama dulu juga seorang pejuang yang berani melawan sekutu pada peristiwa Agresi Militer Belanda dengan pangkat Sersan Mayor.
Sutradara perempuan berikutnya ada Chitra Dewi (1934-2008) yang telah membintangi puluhan film. Ia aktif sebagai sutradara pada tahun 1971 dengan membesut film "Bertjinta dalam Gelap", "Dara-dara", dan "Penunggang Kuda dari Tjimande".
Dan yang terakhir adalah Ida Farida yang juga dikenal sebagai penulis skenario yang produktif. Perempuan kelahiran Rangkasbitung tahun 1939 ini mendapat piala Citra sebagai penulis skenario terbaik lewat film Cipluk alias "Semua Sayang Kamu" pada tahun 1989.
Ida memulai debutnya sebagai sutradara lewat film berjudul  "Asmara di Balik Pintu" (1984). Ia kemudian juga menyutradarai di antaranya film "Perempuan Kedua" (1990) dan "Barang Titipan" (1991). Oh iya Ida juga pernah terlibat dalam naskah skenario serial "Si Doel Anak Sekolahan" selama 12 episode awal.
1998, "Kuldesak", dan Dua Sutradara Perempuan
Sekitar tahun 1990-an, film Indonesia mengalami mati suri. Kualitasnya pun menurun. Kemudian pada tahun 1998, empat sutradara muda membuat gebrakan dengan membuat film omnibus berjudul "Kuldesak". Dua di antaranya sutradara perempuan, Mira Lesmana dan Nan Triveni Achnas.
Sementara rekannya, Nan Achnas tetap aktif sebagai sutradara. Film-filmnya "Pasir Berbisik" (2001), "Bendera" (2003), dan "Photograph" (2007) melalang buana ke festival film mancanegara bergengsi dan meraih sejumlah penghargaan.
Era Awal Kebangkitan Film Nasional (2000-2005)
Setelah kesuksesan "Petualangan Sherina" disusul "Ada Apa dengan Cinta" (2002), industri film nasional pun kembali bergulir. Film-filmnya berwarna dan eksploratif. Di antara film tersebut merupakan hasil karya sutradara perempuan, seperti Nia Dinata, Upi, Cassandra Massardi, Marianne Rumantir, Viva Westi, dan Sekar Ayu Asmara.
"Arisan" yang dibesut Nia Dinata adalah film yang dikenang pada tahun 2003. Ia disebut sebagai film yang berani menampilkan drama kehidupan kaum megapolitan dan menyisipkan karakter gay. Film ini berhasil meraih lima piala Citra dari 11 nominasi.
Selanjutnya ada nama Upi yang mulai dikenal lewat "30 Hari Mencari Cinta". Upi kemudian menjadi sutradara film yang produktif dengan tema cerita yang beragam, seperti "Realita Cinta dan Rock'n Roll", "Serigala Terakhir", "Radit dan Jani", Belenggu", "My Stupid Boss 1 dan 2", dan "My Generation". Upi terpilih sebagai sutradara superhero "Sri Asih" yang merupakan bagian dari semesta adi patriot Bumi Langit.
Upi meraih tiga nominasi piala Citra untuk sutradara terbaik untuk film "Belenggu", "Radit dan Jani", serta "My Stupid Boss". Ia juga berprestasi di bidang penulisan skenario dengan meraih dua nominasi FFI.
Sekar Ayu Asmara, juga penulis dan sutradara yang ikut memberi warna pada awal-awal kebangkitan film nasional, lewat film besutannya "Biola Tak Berdawai" dan "Belahan Jiwa" yang mendulang penghargaan. Ia juga menulis novel "Pintu Terlarang" yang kemudian diadaptasi Joko Anwar ke film layar lebar.
Selain aktif di kancah perfilman, Sekar juga seorang pencipta lagu dan pelukis. Ia menciptakan tembang "Jangan Berhenti Mencintaiku" yang dibawakan Titi DJ dan produser album "Perempuan"-nya Rita Effendy.
Viva Westi juga masuk sebagai sutradara perempuan yang mulai aktif sejak lima tahun awal kebangkitan film nasional. Bersama Garin Nugraha dan dua sutradara lainya, ia membesut film dokumenter berjudul "Serambi" (2005) yang tayang di Festival Cannes.
Film-filmnya yang signifikan adalah "Jenderal Soedirman", "Koki-Koki Cilik 2", dan "Toko Barang Mantan". Viva Westi hingga saat ini juga aktif sebagai penulis skenario film.
Lalu ada nama Marianne Rumantir, yang tercatat sebagai sutradara film "Aku, Dia, dan Mereka" yang dirilis tahun 2002. Sayangnya setelah itu ia vakum di dunia film nasional dan memilih sebagai pengusaha.
Sedangkan Cassandra Massardi memulai debutnya sebagai sutradara dalam film "100% Sari" (2003) yang bercerita tentang gadis Bali. Film berikutnya "Oh Baby (2008) dan Kawin Laris (2009). Selain sebagai sutradara, ia aktif menulis skenario film.
Tahun 2005 Ke Atas, Sutradara Perempuan Makin Eksis
Setelah tahun 2005 semakin banyak sutradara perempuan baru. Sementara sutradara tahun-tahun sebelumnya juga tetap aktif.
Ada nama Moully Surya, Lasja Fauziah, Kamila Andini, Sammaria Simanjuntak, Pritagita Arianegara, Naya Anindhita, Rachmania Arunita, Sabrina Rochelle, Ratna Sarumpaet, dan Ginatri S. Noer. Ada juga sejumlah aktris yang kemudian mencoba bangku sutradara seperti Lola Amaria, Ine Febrianti, Luna Maya, Happy Salma, dan Dian Sastro.
Di ranah film dokumenter, ada Ucu Agustin, Fanny Chotimah, dan Chairun Nissa. Belum lagi sutradara perempuan yang membesut film pendek. Jumlah sutradara perempuan ini akan semakin banyak dan berkontributif dalam kuantitas dan kualitas film Indonesia.
Nama Mouly Surya dan Kamila Andini dua di antara sutradara film di atas yang banyak dibicarakan. Filmnya melalang buana ke berbagai festival film internasional.
Mouly Surya menarik perhatian lewat film thriller-nya berjudul "Fiksi". Filmnya tentang kaum disabilitas menjadi karya yang banyak didiskusikan "What They Don't Talk about When They Talk About Love". Yang paling menggebrak adalah karyanya, "Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak" yang meraup sejumlah piala Citra.
Kamila Andini, sebagai putri Garin Nugroho, mewarisi bakat seni ayahnya. Ia menorehkan nama lewat "The Mirror Never Lies", disusul filmnya yang kental nuansa Bali, "Sekala Niskala". Filmnya berjudul "Yuni" banyak ditunggu-tunggu perilisannya.
Kemudian ada Pritagita Arianegara yang dulunya merupakan pencatat adegan dan asisten sutradara Hanung Bramantyo. Ia yang membesut film "Salawaku dan "Surga yang Tak Dirindukan 3".
Naya Anindhita mengukir nama sebagai sutradara melalui "Sundul Gan: The story of Kaskus" dan Eggnoid: Cinta dan Portal Waktu.
Sementara, Djenar Maesa Ayu yang dikenal sebagai penulis, juga sukses sebagai sutradara "Mereka Bilang, Saya Monyet!", "Saia", dan "Nay". Sedangkan Sabrina Rochelle mencuri perhatian lewat filn komedi absurdnya, "Terlalu Tampan".
Rachmania Arunita si penulis "Eiffel I'm in Love" merasai kursi sutradara di film "Lost in Love" dan "Cinta itu Buta". Yang terakhir ada nama Ginatri s. Noer, yang film debutnya "Dua Garis Biru" mendulang banyak pujian.
Aktris Jajal Sutradara
Lola Amaria yang dulu dikenal sebagai model dan pemain film, sekarang serius sebagai sutradara. Filmnya sudah lumayan banyak dan temanya beragam, dari kaum disabilitas, TKI, hingga nilai-nilai Pancasila. Ada "Jingga", "Minggu Pagi di Victoria Park", "6.9 Detik", "Lima", "Labuan Hati", "Betina", dan "Sanubari Jakarta".
Nomor dua aktris yang produktif sebagai sutradara adalah Ine febrianti. Ia menyutradarai film pendek "Cinderella" pada tahun 2001, dokumenter "Rumah Katulistiwa", dan film layar lebar pertamanya, "Tuhan Pada Jam 10 Malam" (2010).
Happy Salma dan Luna Maya sama-sama terjun sebagai sutradara pada tahun 2013. Happy lewat salah satu segmen dalam omnibus Rectoverso" dan Luna lewat "Pintu Harmonika". Tahun 2020 giliran Dian Sastrowardoyo mencicipinya lewat omnibus "Quarantine Tales" pada segmen 'Nougat'.
Ranah Dokumenter Tak Kalah Berprestasi
Di ranah film dokumenter ada sosok Ucu Agustin yang produktif membesut film dokumenter. Ia menyutradarai  "Death in Jakarta", "Konspirasi Hening", dan "Ragat'e Anak".
Chairun Nissa namanya dikenal sebagai sutradara film dokumenter "Semesta". Ia meraih piala Citra lewat film dokumenternya, "Ibu Bumi". Dan sosok baru yang juga meraih penghargaan FFI 2020 adalah Fanny Chotimah lewat film dokumenternya "You and I".
Ada begitu banyak ya sutradara perempuan yang aktif berkiprah dan kontributif ke dunia perfillman nasional. Siapa tahu berikutnya giliran kalian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H