Bayangan mie Jawa dengan kuah yang kental dan pedas terbayang di benakku. Rasanya sulit menyingkirkan bayangan mie kuah tersebut.Â
Sudah malam, aku memikirkan cara untuk menolaknya. Tapi godaan itu lebih kuat dan aku kalah. Aku dan pasangan pun kemudian dengan penuh tekad menuju penjual mie Jawa.
Sudah lewat pukul 20.00 WIB. Sebenarnya waktu makan malam sudah berakhir. Tapi kami telat makan siang sehingga perut belum mulai lapar sejak matahari tergelincir. Hujan deras yang mengguyur dan hawa yang sejuk akhirnya membuat rasa lapar terbit.
Kedai mie Jawa itu sederhana. Di dalam hanya ada dua meja, empat buah bangku plastik, dan meja tepi dengan bangku panjang.
Sabtu malam ini kedai itu sepi. Hanya ada kami yang mengisi. Nama kedainya Mie Jawa Mbak Yani. Kami pun langsung memesan, aku memesan mie godog pedas satu porsi.
Siapa yang bisa menolak seporsi mie godog saat perut keroncongan plus hawa yang sejuk. Guilty pleasure. Di balik kenikmatan ada rasa bersalah. Duh sebaiknya jangan makan malam lewat jam delapan. Wah aku makan mie godog malam-malam bisa bikin tambah ndut.
Aku menentramkan diriku. Sudahlah ini hanya seporsi mie godog. Biarkan lidahku termanjakan malam ini. Besok-besok aku puasa mie dulu dan lebih giat berolah raga.
Mie itu dimasak di atas anglo yang terus menyala berkat bantuan kipas angin. Mienya terkepung kuah dari kaldu ayam dengan ditemani irisan ayam, kol, irisan cabe merah, daun bawang, dan bawang goreng, juga telur ayam.
Rasanya gurih, hangat, pedas sekaligus segar. Sedangkan tekstur mienya cenderung lunak, dengan diameter sedang, dan tidak begitu kenyal.
Slurp. Awalnya aku menggunakan garpu tapi kemudian menggantinya dengan sendok. Sekalian menyantap kuahnya.
Kuah yang hangat dan pedas membuatku berkeringat. Aku mulai sedikit kepedasan. Tapi aku tak menyerah hingga sendok penghabisan.