Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Amor dan Humor", Film Usmar Ismail yang Jarang Diketahui

31 Maret 2021   19:31 Diperbarui: 1 April 2021   18:07 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Amor dan Humor" Karya Usmar Ismail | Sumber: Kineforum via Dewan Kesenian Jakarta

Usmar Ismail dikenal sebagai bapak perfilman nasional. Filmnya "Darah dan Doa" yang diproduksi tahun 1950 disebut sebagai film pertama Indonesia. Tahun ini diperingati sebagai 61 tahun film nasional dan 100 tahun Usmar Ismail, mengingat sutradara kelahiran Bukittinggi ini lahir pada tahun 1921. Mengingat jasa Usmar Ismail, sejak 17 Maret hingga 31 Maret dilakukan pemutaran film virtual Usmar Ismail.

Acara pemutaran virtual film-film Usmar Ismail dihelat oleh Kineforum bekerja sama dengan Sinematek dan CinemaPoetica. Ada empat film yang diputar menunjukkan keragaman genre film yang dibesut Usmar, ada komedi juga drama romantis. Film-film ini juga relatif jarang dikenal. Penonton bisa menonton "Amor dan Humor", "Big Village", "Asmara Dara", atau "Lahirnya Gatotkatja" di rumah dengan membayar Rp 25 ribu per filmnya.

Aku belum pernah menonton keempat-empatnya. Tentang karya Usmar Ismail aku hanya pernah menyaksikan "Tiga Dara" yang kocak dan romantis. Oleh karenanya aku penasaran. Lalu aku memilih menyaksikan "Amor dan Humor".

Film yang diproduksi tahun 1961 ini berdurasi 86 menit. Kualitas filmnya kurang sebagus "Tiga Dara" yang telah direstorasi. Gambarnya ada yang kurang jelas dan dialognya beberapa kali berulang.

Cerita "Amor dan Humor" ini memiliki dua subtema cerita romantis dan cerita komedi. Latarnya hanya di satu tempat, yaitu Gelanggang Dagang alias Expo atau Pameran Dagang di Jakarta.

Film diawali dengan mobil-mobil yang mengarah ke tempat perhelatan Gelanggang Dagang. Beragam produk dipamerkan, di antaranya beragam pakaian, mesin jahit, dan mobil. Di sana juga ada tempat makan dan komidi putar, juga sesekali diadakan pagelaran busana.

Para pengunjung memadati area pameran. Tua muda, laki perempuan. Banyak yang berpakaian necis dan modis. Yang perempuan tampil cantik dan modis dengan gaun terusan rambut tergerai atau kebaya bersanggul. Yang pria mengenakan jas, kemeja batik, atau kemeja biasa.

Kamera kemudian menyorot gerak gerik pria perlente dengan jas. Ia berpura-pura tertarik dengan pakaian yang dijual di stand tersebut, padahal ia bermaksud menggoda si pramuniaga cantik. Herman (Rendra Karno), namanya.

Jengah dengan sikap Herman yang sering berkunjung ke tempatnya, si pramuniaga (Baby Huwae) memintanya agar ia jangan pernah lagi mengganggunya. Ia sendiri sudah punya kekasih yang seorang wartawan. Lalu muncul seorang fotografer pemula perempuan yang cantik (Rima Melati) membuat banyak pria terkesima.

Cinta segi empat di antara empat insan pun mewarnai gelanggang dagang.

Di antara para pengunjung, ada tiga pria yang juga rajin datang ke lokasi pameran. Ketiganya suka mengganggu, berpura-pura hendak membeli barang, atau memang berniat usil. Mereka suka menarik perhatian sehingga para pengunjung lainnya mengerumuni mereka jika mereka melawak atau bernyanyi. Trio tersebut diperankan Ateng, Bing Slamet, dan Mansyur Syah.

Hingga suatu ketika ketiga pelawak itu berpapasan takdir dengan mereka yang sedang merasai cinta segiempat.

Film Klasik yang Bikin Tertawa Geli

Film hitam putih ini memberiku banyak wawasan. Pada awal tahun 60an, Jakarta sudah nampak rapi dan modern. Warganya juga tak sedikit yang fashionable.

Aku kagum dengan busana para perempuan di sini, baik mengenakan kebaya ataupun maxi dress, semuanya nampak cantik dan bergaya. Tata rambutnya, baik disanggul, diikat, maupun digerai juga nampak anggun.

Expo yang masih sering diadakan hingga saat ini, rupanya sudah jamak dilakukan pada masa lalu. Rumusnya juga sama, ada produk yang dijual, gerai makanan, dan hiburan.

Musik tahun 60-an juga mewarnai film ini, utamanya tembang-tembang Elvis Presley. Lalu juga ada iringan musik bossa nova dan musik keroncong.

Dari ceritanya, hingga setengah film aku belum tahu arah film produksi Perfini ini. Kunikmati saja drama manusianya, di satu sisi tentang percintaan, lainnya tiga manusia yang suka cari perhatian. Rupanya aku lebih tertarik dengan humornya.

Aku baru kali ini melihat sosok Ateng, Bing Slamet, dan Mansyur Syah saat masih muda. Bing Slamet menjadi pemimpinnya. Ia merebut perhatian di sini. Dengan wajah tampan dan gerak-geriknya yang kemayu di sini, ia menguasai panggung. Ia memimpin dua temannya mencobai baju perempuan. Bermain-main dengan mobil pameran. Ia juga bernyanyi di sini.

Dua pelawak lainnya jadinya hanya seperti pelengkapnya. Oh iya Ateng di sini ramping, sangat beda penampilannya dengan waktu aku menyaksikan filmnya sebagai Pinokio.

Ceritanya memang seperti tak berarah. Tapi aku cukup menikmatinya. Penutupnya juga tak seperti film kebanyakan.

Aku merasa senang dapat menyaksikan film langka dari seorang maestro film  Indonesia. Aku jadi ingin menyaksikan karyanya lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun