Film hitam putih ini memberiku banyak wawasan. Pada awal tahun 60an, Jakarta sudah nampak rapi dan modern. Warganya juga tak sedikit yang fashionable.
Aku kagum dengan busana para perempuan di sini, baik mengenakan kebaya ataupun maxi dress, semuanya nampak cantik dan bergaya. Tata rambutnya, baik disanggul, diikat, maupun digerai juga nampak anggun.
Expo yang masih sering diadakan hingga saat ini, rupanya sudah jamak dilakukan pada masa lalu. Rumusnya juga sama, ada produk yang dijual, gerai makanan, dan hiburan.
Musik tahun 60-an juga mewarnai film ini, utamanya tembang-tembang Elvis Presley. Lalu juga ada iringan musik bossa nova dan musik keroncong.
Dari ceritanya, hingga setengah film aku belum tahu arah film produksi Perfini ini. Kunikmati saja drama manusianya, di satu sisi tentang percintaan, lainnya tiga manusia yang suka cari perhatian. Rupanya aku lebih tertarik dengan humornya.
Aku baru kali ini melihat sosok Ateng, Bing Slamet, dan Mansyur Syah saat masih muda. Bing Slamet menjadi pemimpinnya. Ia merebut perhatian di sini. Dengan wajah tampan dan gerak-geriknya yang kemayu di sini, ia menguasai panggung. Ia memimpin dua temannya mencobai baju perempuan. Bermain-main dengan mobil pameran. Ia juga bernyanyi di sini.
Dua pelawak lainnya jadinya hanya seperti pelengkapnya. Oh iya Ateng di sini ramping, sangat beda penampilannya dengan waktu aku menyaksikan filmnya sebagai Pinokio.
Ceritanya memang seperti tak berarah. Tapi aku cukup menikmatinya. Penutupnya juga tak seperti film kebanyakan.
Aku merasa senang dapat menyaksikan film langka dari seorang maestro film  Indonesia. Aku jadi ingin menyaksikan karyanya lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H