Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"You and I", Film Dokumenter tentang Dua Perempuan Mantan Tahanan Politik

25 Desember 2020   16:41 Diperbarui: 31 Agustus 2021   22:49 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mereka dipertemukan di LP lalu hidup berdua hingga akhir hayat (sumber: Tempo)

Bagaimana bila kalian hidup bertahun-tahun dan menua bersama dengan seseorang yang sudah kalian anggap sebagai saudara sendiri?

Adalah Kaminah dan Kusdalini yang ditangkap karena tindakan pemerintah yang saat itu begitu keras terhadap mereka yang diduga terlibat dengan kegiatan PKI. Padahal keduanya saat itu adalah pelajar yang senang berkegiatan di paduan suara. Mereka senang bernyanyi dan berorganisasi.

Kaminah dan Kusdalini berasal dari organisasi paduan suara yang berbeda. Mereka baru dipertemukan di lembaga permasyarakatan. Kusdalini yang lebih tua empat tahun menjadi semacam kakak bagi Kaminah.

Kaminah sedih ketika Kusdalini bebas lebih dulu. Kusdalini kemudian rajin menjenguknya dan membawakannya makanan agar ia tak muram.

Setelah Kaminah bebas, ia tinggal bersama Kusdalini dan neneknya. Keluarga Kaminah mengucilkannya karena pada masa itu mereka yang diduga terlibat dengan PKI mendapat stigma negatif di masyarakat.

Akhirnya Kaminah bertahun-tahun hidup bersama Kusdalini, seperti kakak dan adik. Hingga hanya mereka berdua yang tinggal di rumah tersebut dan mereka pun menyambung hidup dengan hanya berjualan kerupuk yang digoreng sendiri.

Kehidupan mereka yang sederhana relatif damai, hingga suatu ketika Kusdalini harus dilarikan ke rumah sakit.

Korban dari Stigma Masyarakat
Selama satu jam lebih penonton diajak menyelami kehidupan masa tua Kaminah dan Kusdalini. Cerita masa lalu hanya diceritakan sepotong-potong, dari bagaimana Kaminah kemudian hidup bersama Kusdalini, membantu nenek Kusdalini berjualan soto, hingga kehidupan keduanya yang terasa sepi setiap harinya, hanya berdua.

Keduanya adalah korban stigma masyarakat. Ada cap yang menempel di mereka sebagai mantan tahanan politik. Kaminah dikucilkan keluarganya. Keduanya tak bisa menikah, tak bisa lagi melanjutkan sekolah dan bekerja. Mereka seolah-olah mendapat stempel perempuan yang tidak baik. Namun keduanya tabah dan saling menguatkan.

Mereka menyambung hidup dengan berjualan kerupuk (sumber gambar Fanny Chotimah di VOA Indonesia)
Mereka menyambung hidup dengan berjualan kerupuk (sumber gambar Fanny Chotimah di VOA Indonesia)
Dalam film ini penonton diajak melihat kehidupan sehari-hari Kaminah dan Kusdalini. Keduanya sudah begitu tua, usianya berkisar 70 dan 74 pada masa itu. Meski demikian mereka masih aktif berkegiatan. Mereka mencuci pakaian dan memasak sendiri. Kadang-kadang mereka pergi naik angkutan umum menghadiri pertemuan. Kusdalini naik angkutan umum dengan susah payah karena kakinya mulai lemah.

Tak ada bantuan dari pemerintah daerah, mereka menopang hidup dengan berjualan kerupuk dengan penghasilan yang tak seberapa. Warung soto mereka sudah dijual. Ada kalanya tetangga dan anak-anak muda di sekitarnya memberi mereka makanan dan membantu membenahi atap mereka yang bocor.

Cerita Dokumenter yang Begitu Dekat
Film ini terasa intim. Penonton bisa melihat bagaimana keduanya sedang mengobrol, mencuci baju, atau ketika hendak tidur. Penonton juga bisa melihat ekspresi Kaminah yang begitu sabar meladeni Kusdalini yang mulai pikun. Ia nampak berusaha tenang dan sabar merawat Kusdalini.

Membuat dokumenter seperti ini tentunya tak mudah. Perlu kesabaran dan ketelatenan karena tentunya obyek film tak akan nyaman jika terus berhadapan dengan kamera.

Mereka dipertemukan di LP lalu hidup berdua hingga akhir hayat (sumber: Tempo)
Mereka dipertemukan di LP lalu hidup berdua hingga akhir hayat (sumber: Tempo)
Di sinilah kesabaran Fanny Chotimah, pembesut film, teruji. Ia mengerjakan film ini selama empat tahun dengan penuh ketekunan. Ia tak langsung mengambil gambar, melainkan menjalin hubungan dulu dengan mereka. Ia membangun kedekatan dengan sabar sehingga kemudian menghasilkan gambar-gambar yang dekat. Kita sebagai penonton, seperti masuk ke dalam kehidupan kedua nenek tersebut.

Gambar-gambar yang disajikan jadinya terasa hangat, intim, dan dekat. Narasi dalam film ini kuat dan begitu humanis. Bagaimana kehidupan masa tua eks tahanan politik yang terbelenggu oleh stigma masyarakat.

Saya waktu itu beruntung menyaksikannya di JAFF-NETPAC Asian Film Festival 2020 yang diadakan secara luring dan daring pada akhir November lalu. Film ini terpilih sebagai film penutup gelaran festival berkelas internasional ini.

Waktu itu penonton membayar Rp 10 ribu untuk menonton di Klikfilm. Selama film ada sesuatu yang membuat saya begitu terharu, terutama ketika Kusdalini dirawat di rumah sakit dan Kaminah berupaya tetap tegar. Dan ketika film berakhir, rasanya begitu menyedihkan. Rasa sepi dan sedih itu begitu menular ke penonton. Saya seperti bisa merasakan betapa takutnya mbah Kaminah kehilangan mbah Kusdalini karena hanya ialah satu-satunya 'saudara' yang dimilikinya. Ia tak punya lagi siapapun.

Film ini berhasil meraih penghargaan bergengsi di tanah air yakni Piala Citra 2020 untuk kategori Film Dokumenter Panjang. Film produksi Solo ini juga terjaring sebagai nominasi KOMiK Awards, masuk dalam 10 Dokumenter Terbaik Asia 2020 oleh media Inggris, New Musical Express; dan juga meraih penghargaan sebagai film terbaik di Asian Competition of the 12th DMZ International Documentary Film Festival. "The Asian Perspective Award".

"Film dokumenter yang berhasil mengangkat realita di masyarakat secara hangat dan dekat. Skor: 8/10"

Fanny berhasil raih piala Citra (sumber: Solo Pos)
Fanny berhasil raih piala Citra (sumber: Solo Pos)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun