Menjadi perempuan dengan budaya patrilineal yang kental di masyarakat seringkali harus siap dengan stigma tertentu. Seperti halnya stigma sosial yang diterima oleh para perempuan yang tak berketurunan. Kisah dari lima perempuan dengan tema keturunan tersebut diusung oleh film dokumenter berjudul "Kosong".
Saya beruntung mendapat kesempatan menyaksikan film "Kosong" di Festival Film Luang Prabang yang diadakan awal Desember silam. Sejak melihat poster dan sinopsisnya saya sudah tertarik, dan semakin antusias ketika menyaksikan secuil adegannya. Film ini mengusung format dokumenter-animasi dengan warna-warni yang cerah. Unik. Saya baru kali ini menjumpai film dokumenter dengan format animasi.
Meski warna-warnanya cerah, sebenarnya pesan yang diusung dalam film dokumenter ini cukup dalam. Ia menyoroti kegelisahan dan keluh-kesah yang disimpan oleh para perempuan ketika ia tak bisa memenuhi harapan untuk berketurunan.
Terdapat lima perempuan yang ditampilkan sebagai narasumber di sini. Mereka mewakili berbagai generasi dan latar belakang. Benang merah di antara mereka adalah mereka tinggal di Jawa dan lingkungan sekitarnya suka peduli terhadap orang lain dalam tanda kutip.
Cerita lainnya dari pasangan suami istri yang belum dikaruniai momongan. Mereka saling menguatkan diri dan saling memberi dukungan. Meski komentar-komentar di sekitarnya terasa pedih dan menyayat hatinya, misalnya ketika berkunjung ke rumah saudara, mereka coba menanggapinya dengan tersenyum. Tapi ketika di rumah, si perempuan merasa sedih dengan komentar-komenter tersebut dan merasa enggan untuk berjumpa dengan sanak saudara.
Ada juga kisah dari perempuan muda yang memutuskan untuk tak segera berketurunan apabila ia nanti suatu ketika menikah. Ia tahu ia akan mendapat banyak pertanyaan dari keputusannya tersebut, tapi ia mencoba tak peduli.
Mereka para perempuan yang kuat dan tabah meski dianggap 'kosong', 'tak sempurna', dan sederetan predikat lainnya yang disematkan oleh lingkungan sekelilingnya. Ini adalah potret yang banyak dijumpai di masyarakat di Jawa.
Kata-kata seperti kok belum ada momongan dan sebagainya mungkin dianggap sebagai bentuk perhatian atau sekadar candaan, padahal bisa jadi hal tersebut menyakitkan bagi yang dikomentari tersebut. Mendengar cerita dari lima narasumber ini, saya merasa tersentuh dan juga merasa salut atas ketabahan mereka.
Ceritanya memiliki pesan yang kuat, menunjukkan realita di masyarakat. Wujud animasi yang digunakan menggunakan teknik beragam yang indah. Begitu artistik. Sebagian nampak mirip dan detail seperti kondisi nyata. Ia dibuat dengan beragam metode manual, ada yang menggunakan cat air, akrilik dan spidol, serta kombinasi di antaranya.