Angga Aldi Yunanda namanya melonjak sejak ia membintangi "Dua Garis Biru" bersama Adhisty Zara. Ia kemudian terlibat di berbagai film drama remaja romantis, dengan film teranyarnya "Di Bawah Umur". Dalam film ia penonton diajak melihat performa Angga yang berakting sebagai remaja bengal alias bad boy bernama Aryo.
Aryo dalam "Di Bawah Umur" digambarkan anak SMA yang tampan, digandrungi banyak remaja perempuan, namun suka datang terlambat ke sekolah dan serung berkelahi. Ia kemudian jatuh hati kepada siswi baru bernama Lana (Yoriko Angeline) yang cantik dan kalem.
Lana tinggal di rumah sepupunya, Kevin (Naufal Samudra), yang bersama dua kawannya dikenal biang pesta, mabuk-mabukan dan akrab dengan pergaulan bebas. Lana sendiri punya rahasia di tempat asalnya sehingga ia diminta orang tuanya bersekolah di Jakarta.
Aryo yang bermusuhan dengan Kevin pun mencari cara untuk mendekati Lana. Sementara Kevin membocorkan rahasia Lana ke kedua temannya.
Performa Angga dan Pesan Hambar "Di Bawah Umur"
Baru kali ini aku melihat Angga berperan sebagai 'bad boy'. Biasanya ia menjadi sosok remaja yang kalem dan manis. Namun di film ini aku memberikan apresiasi kepada Angga karena ia cukup apik dan berani ke luar dari zona nyamannya.
Dari sorot jail di matanya, kemudian seringaian dan gesturnya, ia nampaknya berupaya keras untuk memposisikan dirinya agar nampak seperti bad boy. Memang belum sepenuhnya berhasil, sosok imut dan manisnya masih lebih kuat. Lain halnya dengan Jefri Nichol yang aura bad boy-nya begitu terlihat.
Dalam film ini Angga memang bintangnya. Karakter-karakter lainnya kurang menonjol. Yoriko Angeline belum mampu menghidupkan sosok Lana sebagai love interest tokoh utama yang menarik dan mengundang simpati penonton.
Meski tema dan pesannya menarik tentang kenakalan remaja, pergaulan bebas, dan dampak buruknya hamil sebelum menikah, namun Emil Huradi nampaknya kurang jeli dan kurang apik menyampaikannya. Yang malah membekas adalah adegan-adegan dan dialog yang vulgar dan anak-anak SMA yang tidak niat belajar di sekolah.
Adegan-adegan dan dialog vulgar memang tak banyak, namun adegannya mendapatkan porsi yang lumayan sehingga membuat jengah dan risih menontonnya. Pesan untuk menghindari pergaulan bebas juga rasanya sulit tersampaikan ke penonton, tidak seperti ketika menyaksikan "Dua Garis Biru".
Hambarnya "Di Bawah Umur" ini bisa jadi karena tak ada karakter yang simpatik di sini. Pengembangan cerita dan eksekusinya juga terseret-seret, serta talenta para bintang senior seperti Endhita dan Teuku Rifnu Wikana yang tersia-siakan.