Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"The Social Dilemma", Tak Ada yang Gratis di Dunia?

18 September 2020   16:47 Diperbarui: 18 September 2020   23:11 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Social Dilemma (Sumber: Cultura.id)

"If you're not paying the product, then you're the product"

Ungkapan tidak ada sesuatu yang benar-benar gratis di dunia, mungkin benar, seperti halnya ketika netizen menggunakan berbagai platform media sosial. 

Memang berinteraksi di media sosial itu menyenangkan. Tapi rupanya ada kekuatiran tersendiri akan dampak dan pengaruh media sosial yang membuat pengembang media sosial itu sendiri juga merasa was-was. Hal ini diungkapkan dalam film hibrid dokumenter-drama (docudrama) yang tayang di Netflix.

Docudrama ini seperti penyambung film dokumenter yang sebelumnya telah dirilis, yaitu "The Great Hack". 

Pada kemunculannya, "The Great Hack" juga mengejutkan karena menggambarkan skandal data pribadi pengguna, terutama pengguna Facebook. 

Dalam "The Great Hack" yang lebih dominan adalah unsur politiknya, di mana perilaku pengguna Facebook dianalisa oleh Cambridge Analytica dan kemudian para pengguna Facebook jadi bahan kampanye politik sesuai dengan pesanan. 

Dalam "The Social Dilemma", dampak dan pengaruh dari media sosial itu dibahas dengan lebih saksama. Yang dibahas juga bukan hanya Facebook, namun juga platform media sosial lainnya, yaitu Twitter, Instagram, Pinterest, YouTube, Google, TikTok, dan masih banyak lagi.

Narasumbernya adalah orang-orang yang dahulunya terlibat langsung dalam pengembangan platform media sosial tersebut, di antaranya Tristan Harris dari Google, Tim Kendall dari Pinterest, dan Justin Rosenstein dari Facebook. 

Algoritma, Machine Learning, dan Etika
Tristan Harris tidak menyangka platform media sosial berkembang seperti saat ini. Ia tak menyangka bahwa algoritma yang dikembangkan oleh puluhan programmer dan analis bisa memengaruhi kehidupan jutaan manusia dari berbagai penjuru dunia. 

Awalnya ia menganggap teknologi tersebut membantu penggunanya. Namun, algoritma tersebut berkembang tak seperti harapannya. 

Media sosial itu membuat netizen teradiksi, mereka bisa menghabiskan waktu sekian lama hanya untuk berinteraksi dan bermain di ranah media sosial. Dari yang tujuannya mendekatkan dan lebih tersosialisasi, media sosial malah membuat penggunanya lebih suka mengisolasi diri dan bergaul dengan orang-orang di dunia maya dari pada di dunia nyata. 

Tristan mengaku ia sangat suka memeriksa e-mail. Bahkan setiba di rumah ia masih juga memeriksa e-mail. Hal ini juga sama seperti yang dirasakan oleh Tim Kendall, yang berupaya untuk menjauhkan kebiasaan buruk memeriksa ponsel tersebut di rumah dan lebih mendekatkan diri ke keluarganya. 

Aktivitas bermedsos direkam untuk dianalisa (sumber: IMDb/Netflix)
Aktivitas bermedsos direkam untuk dianalisa (sumber: IMDb/Netflix)
Adiksi tersebut juga salah satunya dipengaruhi oleh algoritma dalam media sosial tersebut. Aktivitas netizen menggunakan media sosial tersebut direkam dan kemudian dianalisis. Semakin lama penggunaannya, maka data yang dikumpulkan akan semakin baik dan akurat. Data tersebut kemudian dijadikan dianalisis untuk diketahui preferensinya, siapakah dia, asal negaranya, apa minatnya, apa preferensi politiknya, siapa saja teman-temannya. 

Ketika hasil analisa tersebut didapatkan, maka laman platform akan menampilkan hal-hal yang kiranya menarik minatnya. Jika prediksi mereka benar dan netizen tersebut memilih dan mengklik tayangan atau iklan yang ditampilkan, maka data pribadi netizen tersebut akan semakin akurat. 

Algoritma, artificial intelligence, data mining, dan machine learning adalah teknologi yang menyertai perkembangan platform media sosial tersebut. 

Data adalah bahan utama dari machine learning. Semakin banyak data yang didapat dari aktivitas media sosial seseorang, maka akan sangat membantu membuat profil pengguna tersebut, dan tentunya prediksi preferensinya akan semakin akurat. 

Data mining diperlukan untuk menambang data-data dari pengguna yang ukurannya bisa mencapai tera atau lebih perharinya. Di dalam data mining terdapat kecerdasan buatan yang terdiri atas algoritma dalam bentuk kode-kode. Machine learning kemudian menggunakan data untuk menjadi bahan pembelajarannya, ia terus belajar dari mengolah data hingga tingkat akurasinya semakin tinggi. 

Data mining memiliki banyak manfaat, termasuk dalam bidang membuat profil pelanggan dan target pasar. Tapi apakah etis menggunakan data pribadi pengguna untuk kemudian dijual ke para industri sebagai target pasar? Apakah etis data pribadi tersebut dijual untuk keperluan riset politik? Hal-hal inilah yang membuat Tristan dkk merasa muak. Ia menganggap penyalahgunaan data pengguna tersebut sudah melampaui kode etik. 

Data pengguna medsos adalah harta karun (sumber: Netflix/IMDb)
Data pengguna medsos adalah harta karun (sumber: Netflix/IMDb)
Target Pasar, Manipulasi Politik, Polarisasi, Target Hoaks, dan Realitas 
Ya, pengguna media sosial itu menjadi target pasar. Data itulah yang menjadi komoditas. Ia adalah harta karun yang bisa didapatkan secara gratis via media sosial. 

Data tersebut bisa dijual, apakah para pengguna akan dijadikan target iklan produk, apakah mereka akan coba diarahkan untuk memilih calon tertentu, dan sebagainya. 

Setiap netizen punya profilnya masing-masing. Semakin aktif bermedsos, maka profil tersebut akan semakin komplet. Misalnya A menyukai drama Korea, ia sering mencari foto-foto dan berita tentang drakor dan bintang film Korea. Maka laman media sosialnya akan dipenuhi iklan dan informasi tentang film Korea, produk Korea, dan sebagainya. Tabiat kita diprediksi dengan semakin banyak kita melakukan pencarian tertentu, me-'like' sesuatu dan sebagainya.

Ia mungkin tak tahu bahwa laman media sosialnya berbeda dengan temannya. Ia tak tahu berita-berita yang didapatkannya berbeda dari orang-orang di sekitarnya karena hal tersebut bisa jadi disesuaikan dengan lokasi tempat tinggalnya. 

Ia diarahkan secara sadar ataupun tidak. Oleh karena itulah seorang narasumber dalam docudrama ini berkata bahwa setiap orang mendapatkan realitanya sendiri di media sosial.. 

"Everyone has their own reality"

Kasus Perundungan dan Bunuh Diri Meningkat
Dalam film ini juga ditampilkan sebuah kisah tentang keluarga yang dua anaknya teradiksi oleh media sosial. Isla (Sophia Hammons), si bungsu, suka mengurung diri di kamar dari pada mengobrol dengan saudara-saudaranya dan orang tuanya. 

Ia suka swafoto dan mengunggahnya di media sosial. Ketika tanggapan netizen negatif, ia merasa sedih dan minder. Komentar-komentar tersebut memengaruhi suasana hati dan membebani pikirannya.

Hal yang sama juga dirasakan oleh si kakak, yaitu Ben (Skylar Gisondo). Ia tak sadar tabiatnya telah diprediksi oleh AI dalam media sosial dan ia jadi target pasar. 

Dalam film ini juga disebutkan bahwa ada kecenderungan peningkatan kasus perundungan dan bunuh diri di kalangan remaja dan pra remaja di Amerika sejak semakin jamaknya penggunaan media sosial.

Para korban perundungan dan mereka yang melakukan bunuh diri lebih banyak dialami oleh perempuan. Hal ini menjadi catatan dari para psikolog tentang dampak negatif media sosial.

Tentang penyalahgunaan data pengguna ini sebenarnya sudah banyak dijadikan riset di bidang teknologi informasi. Sebenarnya ada kode etik dan regulasi yang mengatur data pribadi di berbagai negara. 

Penggunaannya diatur sangat ketat dan ketika data tersebut dipergunakan maka penguna wajib mengetahuinya, siapa yang akan menggunakan dan digunakan untuk apa saja. 

Penelitian berkaitan dengan kesehatan mental berkaitan dengan media sosial dan gim daring juga mulai marak diadakan, termasuk di Indonesia. Hal ini dikarenakan sebenarnya sudah ada kasus-kasus kecanduan gim dan media sosial yang dialami para mahasiswa dan juga para siswa di sekitar kita.

Kasus bunuh diri di kalangan remaja dan pra remaja meningkat (sumber: Netflix)
Kasus bunuh diri di kalangan remaja dan pra remaja meningkat (sumber: Netflix)
Bijak Bermedia Sosial
Media sosial tetap memiliki manfaat tersendiri. Tayangan ini tidak serta-merta meminta kita untuk menutup akun media sosial, melainkan sadar bahwa data pribadi kita tidak aman dan kita rawan jadi target pasar. 

Tidak terlalu banyak mengungkapkan data pribadi di media sosial akan lebih baik. Demikian pula dengan bersosialisasi. Bersosialisasi di dunia nyata lebih baik dari pada terkukung di dunia maya. 

Docudrama yang dibesut oleh Jeff Orlowski ("Chasing Ice", "Chasing Coral") ini memberikan gambaran tentang bahaya yang mengintai di media sosial dengan gambar dan bahasa yang mudah dicerna. 

Narasumbernya adalah orang-orang yang kredibel dan mampu menjelaskan dengan gamblang dan komprehensif. Drama yang ditampilkan mampu menjadi ilustrasi gambaran keluarga masa kini yang teradiksi media sosial. Docudrama ini melengkapi kisah dalam "The Great Hack". 

Konklusi dalam docudrama ini diserahkan ke penonton. Apakah mereka akan menghapus akun atau mengurangi bermedsos, terserah kepada kita.

"Social media is a marketplace that trades exclusively in human futures."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun