"Bagiku kebebasan itu mudah diucapkan, tapi sulit untuk dimengerti" - Annisa
Adegan Annisa menunggangi kuda di tepian pantai yang bersih adalah bagian ikonik dari film "Perempuan Berkalung Sorban". Adegan ini seperti sebuah simbolisasi perlawanan Annisa terhadap budaya patriaki yang terlalu mengukung kebebasan dan ruang gerak perempuan.
Film "Perempuan Berkalung Sorban" memang menceritakan perjuangan kesetaraan hak-hak perempuan, terutama di lingkungan pesantren. Annisa (Revalina S. Temat) sebagai tokoh utama di sini mengalami diskriminasi perlakuan tersebut mulai dari kecil hingga ia dewasa.
Ia batal menjadi ketua kelas karena perempuan dianggap tidak pantas sebagai pemimpin. Ia dilarang naik kuda karena dianggap tidak elok bagi anak perempuan kyai. Puncaknya, ia dilarang mengambil beasiswa berkuliah di Yogyakarta karena ia belum bersuami.
Ayahnya kemudian memaksa menikahkannya dengan anak sahabatnya, anak seorang kyai pondok pesantren yang besar. Ia memberikan alasan, Annisa akan bisa melanjutkan sekolah setelah menikah karena ia sudah bermuhrim. Dengan bujukan itu Annisa pun menerima pinangan Samsudin (Reza Rahadian)
Namun janji itu sekadar pepesan kosong. Samsudin bukan suami yang baik, ia kerap menyiksa Annisa, namun enggan menceraikannya ketika Annisa memintanya. Harapan Annisa nyaris padam hingga pamannya yang juga cinta masa kecilnya, Khudori (Oka Antara) pulang dari menimba ilmu di Mesir.
Sebagai film religi, "Perempuan Berkalung Sorban" berbeda dengan tren film religi yang muncul sejak era "Ayat-ayat Cinta". Ia bukan film romantis berbungkus religi karena kisah percintaan antara Annisa dan Khudori sendiri bukan fokus utamanya.
Film ini mengusung ide tentang kebebasan dan persamaan hak perempuan, terutama di lingkungan pesantren. Annisa memperjuangkan kepada lingkungan keluarga dan lingkungan pondok pesantren yang dikelola keluarganya bahwa perempuan berhak untuk menuntut ilmu dan memiliki kebebasan untuk menentukan cita-citanya.
Oleh karena gagasan persamaan hak ini berlatar belakang pondok pesantren maka poin inilah yang membuat film ini menjadi kontroversial. Padahal sebenarnya gagasan yang diperjuangkan Annisa adalah hal yang umum.
Omong-omong karena penulis juga sempat mencicipi kehidupan pesantren yang masih tradisional di pinggiran kota Malang, meski hanya seminggu, situasi semacam yang dialami Annisa juga pernah penulis rasakan. Untungnya suasananya tidak 'separah' yang dialami Annisa. Kebebasan dan persamaan hak itu dua hal yang utama bagi perempuan untuk bisa menjadi manusia 'seutuhnya'.
Dalam film ini Revalina berperan apik sebagai wanita yang tertindas dan kemudian bangkit berjuang. Ia membawakan karakter Annisa dengan nyaris sempurna.Â
Di sini ia dipertemukan dengan Reza Rahadian sebagai suaminya yang kejam, yang nantinya keduanya juga kembali menjadi pasangan suami istri di film "Tanda Tanya".
Dari segi cerita, film yang diangkat dari novel ini menarik dan menyuguhkan gagasan yang berani tanpa terkesan sebagai film yang feminis. Sosok Annisa juga digambarkan tidak sangat sempurna, ia tetap sosok perempuan yang memiliki kekurangan.Â
Karakter Khudori sebagai pria yang dicintai Annisa juga bukan pria yang di awang-awang. Ia juga punya keterbatasan. Para pemeran film ini, seperti Reza Rahadian, Oka Antara, dan Widyawati semuanya berperan dengan pas.
Film "Perempuan Berkalung Sorban" adalah satu di antara karya Hanung Bramantyo yang dinilai kontroversial. Karya lainnya yang banyak mengundang pro kontra adalah "Tanda Tanya", "Hijab", dan "Cinta Tapi Beda". Oleh karena film-film ini memang mencerminkan realita di masyarakat, menurutku sah-sah saja.
Skor 8/10.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H