Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Ave Maryam", Penonton Diajak Merasai Pengalaman Sinematik Lewat Karya Artistik

6 September 2020   13:24 Diperbarui: 6 September 2020   13:19 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jika surga belum pasti untuk saya, buat apa saya mengurusi nerakamu!"


Kalimat yang dilontarkan Suster Monik (Tutie Kirana) kepada Suster Maryam (Maudy Koesnaedi) menohok. Menurutku kalimat ini salah satu dialog terbaik dalam film "Ave Maryam", seperti merangkum apa pendapat orang-orang tertentu terhadap apa yang dilakukan Suster Maryam sepanjang film.

Film "Ave Maryam" yang dirilis tahun 2018 bisa dibilang salah satu film yang berani menampilkan sesuatu yang sensitif di Indonesia. Ia menyuguhkan kisah cinta yang terlarang, konon diangkat dari sebuah kisah nyata.

Nyanyian paduan suara yang harmonis membuka film diiringi adegan Suster Maryam dan rekannya yang memandikan perempuan yang berusia lanjut. Sehari-harinya Suster Maryam disibukkan dengan banyak kegiatan di asrama dan di gereja. Ia juga merapikan tempat tidur, menyiapkan makanan untuk pastor, menyetrika, merawat para suster lansia, dan mengikuti kegiatan peribadatan.

Kehidupannya yang sibuk dan monoton dijalaninya dengan tulus hingga suatu ketika gereja mereka kedatangan seorang pastor yang masih muda, menemani Romo Martin (Joko Anwar). Ia adalah Romo Yosef (Chicco Jerikho). Pastor muda ini menjadi dirigen di orkestra kecil yang dipimpinnya.

Dengan cepat, Romo Yosef menarik perhatian para suster. Ia ramah dan mudah menarik simpati para suster yang telah tak muda. Ia juga perhatian ke Suster Monik, ibu angkatnya, yang sedang sakit.

Adegan di gereja (gambar: Asianfilmfestival.barcelona)
Adegan di gereja (gambar: Asianfilmfestival.barcelona)
Dari pertemuan beberapa kali yang tak sengaja, Romo Yosef dan Suster Maryam pun mulai dekat. Keduanya mulai sering bertukar surat. Hingga suatu ketika Suster Maryam merasakan dilema akan perasaan cinta yang mulai tumbuh tersebut.

Peran yang Berbeda Bagi Maudy Koesnaedi
Peran sebagai suster ini sungguh menantang bagi Maudy Koesnaedi. Selain ia berperan sebagai suster yang berbeda keyakinan dengannya di dalam kehidupan nyata, ia juga dituntut untuk beradegan romantis dengan Chicco Jerikho.

Di Netflix, adegan romantis itu disensor. Meski demikian penonton juga telah paham bahwa hubungan Maryam dan Yosef yang cukup intens lewat bertukar surat, bertemu dan mengobrol hanya berdua tersebut sudah termasuk hal yang kurang lumrah antara seorang suster dan romo.

Tentang hubungan cinta terlarang ini aku jadi ingat sebuah film lawas berjudul "The Scarlet Letter" yang juga mengisahkan hubungan cinta terlarang seorang pastor. Untungnya kisah "Ave Maryam" ini tak setragis seperti dalam kisah "The Scarlet Letter" yang juga disebut-sebut terinspirasi dari kisah nyata.

Dari segi cerita, menurutku "Ave Maryam" pondasi dan eksekusi ceritanya masih kurang mantap. Latar belakang Maryam dan Yosef kurang tereksplorasi, begitu juga dengan gagasan dan nilai-nilai yang mereka pegang, sehingga alasan mereka menjadi dekat dan kemudian jatuh cinta terasa kurang kuat.

Yang lebih menonjol di sini adalah kegiatan sehari-hari Maryam bersama para suster. Hal ini menarik karena Maudy dan pemeran suster lainnya nampak luwes membawakannya.

Dari segi akting sendiri Maudy nampak ke luar dari zona nyamannya. Selama ini ia dikenal sebagai sosok Zaenab dalam film serial "Si Doel Anak Sekolahan" yang nampak lemah dan pasrah. Di "Ave Maryam" ini kekuatan aktingnya tereksploitasi. Kegundahannya, dilemanya, dan juga rasa sedihnya tergambar jelas dan ekspresif lewat mimik dan gesturnya.

Joko Anwar sebagai Romo Martin (sumber:cineverse.id)
Joko Anwar sebagai Romo Martin (sumber:cineverse.id)
Pemeran lainnya juga berakting dengan baik. Tutie Kirana berhasil memainkan sosok Suster Monik yang nampak sedang bermasalah dengan kesehatan dan kondisi jiwanya. Ia menjadi suster yang dingin dan menjaga jarak. Chicco juga berakting tak buruk, meski di sini bukan penampilan terbaiknya. Oh iya di sini juga ada Joko Anwar yang lebih dikenal sebagai sutradara, sebagai Romo Martin. Ini kemunculannya yang sekian di film layar lebar sebagai aktor.

Digarap dengan Penuh Artistik
"Ave Maryam" memiliki konsep artistik yang luar biasa. Penonton akan diajak merasakan pengalaman sinematik lewat keindahan visual dan musik latarnya.

Sejak awal penonton dimanjakan oleh gambar-gambar indah di asrama, gereja, stasiun, sudut-sudut Semarang, bangunan tua, hutan, dan juga di pantai. Gereja dan asrama di sini nampak anggun, berkelas, dan klasik.

Pewarnaan yang bernuansa kuning kejinggaan di awal film kemudian warna biru ketika Maudy membuka jendela terasa magis. Demikian pula ketika adegan menyorot tangga yang melingkar-lingkar. Warna dan adegan ini ibarat simbol yang menunjukkan sesuatu, memperkuat emosi dan pesan yang disampaikan dalam film.

Ertanto Robby Soediskam ("Dilema", "7 Hati 7 Cinta 7 Perempuan") sebagai sutradara membiarkan filmnya minim dialog. Gestur dan mimiklah yang banyak menggantikan kata-kata. Bahkan perbincangan antara Yosef dan Maryam di sebuah adegan di restoran digantikan oleh dialog dalam film yang sedang diputar di tempat tersebut.

Nuansa toleransi juga terlihat di sini lewat anak perempuan bernama Dinda yang mengenakan jilbab. Ia nampak sering membantu Maryam mengantar makanan atau barang untuk disampaikan ke pastor di gereja, juga mengantar susu.

Adanya sosok Dinda dan kemudian kamera yang menyorot rombongan siswa dan ibu-ibu yang mengenakan jilbab ini memang bisa menunjukkan makna toleransi. Tapi menurutku agak kurang sesuai karena film ini berlatar tahun 1998 di mana pemakaian jilbab pada masa itu relatif dikenakan oleh kalangan tertentu saja, tidak sebanyak sekarang. Tapi itu pendapat pribadi dari pengalaman penulis di Malang-Surabaya, bukan di Semarang.

Ceritanya memang kurang kuat, tapi aku menikmati setiap detik filmnya, visualnya, kesunyiannya yang tak banyak dialog, juga musik latarnya yang harmonis. Sebuah film yang begitu artistik.

Adegannya artistik (sumber: beritagar)
Adegannya artistik (sumber: beritagar)

Skor dari segi cerita: 7/10
Skor untuk visual dan artistik: 9/10

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun