Dari segi cerita, menurutku "Ave Maryam" pondasi dan eksekusi ceritanya masih kurang mantap. Latar belakang Maryam dan Yosef kurang tereksplorasi, begitu juga dengan gagasan dan nilai-nilai yang mereka pegang, sehingga alasan mereka menjadi dekat dan kemudian jatuh cinta terasa kurang kuat.
Yang lebih menonjol di sini adalah kegiatan sehari-hari Maryam bersama para suster. Hal ini menarik karena Maudy dan pemeran suster lainnya nampak luwes membawakannya.
Dari segi akting sendiri Maudy nampak ke luar dari zona nyamannya. Selama ini ia dikenal sebagai sosok Zaenab dalam film serial "Si Doel Anak Sekolahan" yang nampak lemah dan pasrah. Di "Ave Maryam" ini kekuatan aktingnya tereksploitasi. Kegundahannya, dilemanya, dan juga rasa sedihnya tergambar jelas dan ekspresif lewat mimik dan gesturnya.
Digarap dengan Penuh Artistik
"Ave Maryam" memiliki konsep artistik yang luar biasa. Penonton akan diajak merasakan pengalaman sinematik lewat keindahan visual dan musik latarnya.
Sejak awal penonton dimanjakan oleh gambar-gambar indah di asrama, gereja, stasiun, sudut-sudut Semarang, bangunan tua, hutan, dan juga di pantai. Gereja dan asrama di sini nampak anggun, berkelas, dan klasik.
Pewarnaan yang bernuansa kuning kejinggaan di awal film kemudian warna biru ketika Maudy membuka jendela terasa magis. Demikian pula ketika adegan menyorot tangga yang melingkar-lingkar. Warna dan adegan ini ibarat simbol yang menunjukkan sesuatu, memperkuat emosi dan pesan yang disampaikan dalam film.
Ertanto Robby Soediskam ("Dilema", "7 Hati 7 Cinta 7 Perempuan") sebagai sutradara membiarkan filmnya minim dialog. Gestur dan mimiklah yang banyak menggantikan kata-kata. Bahkan perbincangan antara Yosef dan Maryam di sebuah adegan di restoran digantikan oleh dialog dalam film yang sedang diputar di tempat tersebut.
Nuansa toleransi juga terlihat di sini lewat anak perempuan bernama Dinda yang mengenakan jilbab. Ia nampak sering membantu Maryam mengantar makanan atau barang untuk disampaikan ke pastor di gereja, juga mengantar susu.
Adanya sosok Dinda dan kemudian kamera yang menyorot rombongan siswa dan ibu-ibu yang mengenakan jilbab ini memang bisa menunjukkan makna toleransi. Tapi menurutku agak kurang sesuai karena film ini berlatar tahun 1998 di mana pemakaian jilbab pada masa itu relatif dikenakan oleh kalangan tertentu saja, tidak sebanyak sekarang. Tapi itu pendapat pribadi dari pengalaman penulis di Malang-Surabaya, bukan di Semarang.
Ceritanya memang kurang kuat, tapi aku menikmati setiap detik filmnya, visualnya, kesunyiannya yang tak banyak dialog, juga musik latarnya yang harmonis. Sebuah film yang begitu artistik.