Jakarta dikenal sebagai kota yang sumpek dan macet. Banyak yang mengaku benci, tapi tak sedikit yang mencintai kota ini. Kota ini bak dualitas, maju sekaligus kumuh, bejibun warga yang kaya tapi tak sedikit yang melarat, dan kota yang angkuh sekaligus hangat. Cerita Jakarta dan tiga perempuan tersaji dalam film berjudul "Selamat Pagi, Malam"
Dalam film yang memiliki judul internasional"In The Absence of The Sun" ini ada tiga perempuan dengan ceritanya masing-masing. Perempuan pertama adalah Gia (Adinia Wirasti). Gadis berusia 32 tahun itu baru kembali setelah berkuliah dan bekerja di Manhattan. Ia akan kembali ke Jakarta selamanya. Sayangnya ia merasa kikuk dan asing dengan situasi di Jakarta.
Ia kemudian menghubungi eks sahabat masa kuliahnya, Naomi (Marissa Anita). Tapi Naomi sekarang beda dengan Naomi masa kuliah. Ia telah berkompromi dengan pergaulan ala sosialita di Jakarta, membuat Gia merasa asing dengannya.
Di tempat yang sama Gia-Naomi bertemu, ada Indri (Nia Panggabean) yang sedang menunggu pria kenalannya dari sebuah sosmed. Ia bekerja di gym dan ingin naik kelas dengan menjalin hubungan dengan pria yang mapan. Tak dinyana penampilan si pria bernama Davit (Paul Agusta) sungguh berbeda. Ia kecewa.
Beberapa kali Gia, Naomi dan Indri beririsan nasib. Gia beberapa kali berpapasan dengan indri. Ci Surya juga kemudian berada di kompleks yang sama dengan ketiga perempuan itu. Mereka memiliki masalah masing-masing dan malam itu memacu perubahan terhadap kehidupan mereka.
Sebuah Kisah yang Menyodorkan Realita Sosial
Memang "Selamat Pagi, Malam" bukan cerita satu-satunya yang menggambarkan situasi dan realita sosial Jakarta. Ada berbagai film seperti "Iseng" dan "Eliana, Eliana" yang menyodorkan gambaran kota Jakarta yang gemerlap sekaligus suram. Namun meski demikian aku menyukai film ini, sisi muram dan juga sisi indah dari ibukota disandingkan dengan menawan.
Sejak awal penonton disuguhi gambaran situasi di Jakarta yang macet, seperti penumpang kendaraan umum yang berdesakan dan pengendara roda dua yang menyelip di antara roda empat. Ketika langit masih terang hingga gelap, jalanan tetap padat.
Gambaran Jakarta kemudian berubah pada malam yang semakin larut. Jalanannya kemudian bisa dilalui dengan berjalan kaki. Tawa-tawa renyah dan senyuman hangat pun nampak di antara penjual kaki lima dan pembelinya. Tawa pereda lelah dan tekanan setelah seharian bekerja.