"Home Sweet Home"
Bencana alam membuat korban menderita. Mereka tak hanya kehilangan harta benda, ada juga yang terpisah dan kehilangan saudara, orang tua, dan anaknya. Selain itu mereka juga terlilit rasa trauma. Ada kalanya beban itu semakin menumpuk oleh hal-hal lainnya seperti soal pendataan rumah yang rusak karena bencana.
Film ini berlatar gempa di Palu. Ada seorang ayah bernama dan anak perempuannya yang menjadi korban bencana. Mereka kehilangan istri dan seorang ibu. Belum cukup dengan rumah yang luluh lantak, mereka dihadapkan pada masalah pendataan rumah
Karya Mohammad Ifdhal ini mengandung  kritik sosial. Dalam film dapat dilihat bagaimana para pengungsi berjuang untuk tetap hidup 'normal', mengantre air dan ingin kembali merasai tinggal di tempat yang nyaman, tapi kemudian dihadapkan pada hal-hal yang makin membuat mereka resah dan marah. Â
Banjir tak selalu disikapi dengan keluhan dan sumpah serapah. Ia juga bisa ditanggapi dengan jenaka. Keluarga aaa, misalnya. Karena lelah menjadi korban banjir, mereka pun menyikapinya dengan cara tak biasa.Â
Mereka jadikan hal tersebut seperti sebuah kejadian yang istimewa. Hidup sudah berat, maka sikapi dengan canda.
Meski keluarga tersebut nampak santai menghadapi banjir, menembus genangan air yang dalam dan kotor untuk berbelanja, lalu nampak bersenang-senang dengan perahu karet sebenarnya itu hanyalah sebuah kritikan dengan nada berbalik alias satire.
Ini sebuah film dokumenter satire yang mencoba menangkap sikap masyarakat menengah ke atas terhadap banjir. Mereka pastinya juga kecewa dan kesal akan banjir, tapi di sini mereka ekspresikan seolah-olah dengan nada biasa dan malah nampak gembira. Hahaha.Â
Ketika sebuah peristiwa jamak terjadi dan seperti tidak ada solusi, rasanya mubazir untuk mengeluh dan marah-marah.
Pergerakan kamera dan cara pengambilan di sini nampak amatir. Entah disengaja atau tidak. Jadinya seperti konten-konten amatir yang banyak tersaji di platform digital. Tapi kesannya jadi riil dan diambil oleh orang terdekat korban banjir tersebut.