Hidup dan bekerja di Jakarta itu memang keras. Meski Jakarta disebut sebagai kota untuk meningkatkan tarif hidup dan buruan para lulusan, tapi tidak semuanya bisa langsung sukses bekerja di tempat mentereng dengan gaji besar.
Malah mungkin jika dilihat persentasenya masih banyak pekerja yang gajinya di kisaran UMR. Bahkan tak sedikit yang nilai gajinya belum menyentuh UMR.
Jika melihat isi dari artikel dan konten yang tersedia di ranah maya, buku, maupun di media cetak maka rata-rata perencana keuangan menargetkan audiensnya adalah kalangan menengah ke atas.
Kisahnya rata-rata tentang pegawai dengan gaji belasan juta ke atas, tidak ada beban tanggungan keluarga yang memilih kualitas terbaik untuk hidupnya.
Sangat jarang yang membidik audiens kalangan menengah ke bawah. Padahal sebenarnya literasi pengelolaan keuangan ini juga perlu bagi semua kalangan.
Ya karena rata-rata targetnya menengah ke atas maka angka-angka yang dimunculkan pun terkesan bombastis. Dari pendidikan satu orang anak dari playgroup hingga kuliah yang memakan biaya milyaran, proses persalinan hingga hampir 100 juta, juga kebutuhan lain-lain yang angkanya fantastis.
Bagi kalangan menengah ke atas maka angka-angka tersebut wajar karena si anak disekolahkan di sekolah internasional lalu bisa jadi kuliah di luar negeri.
Tapi bagi kalangan yang pas-pasan ataupun kelompok UMR maka angka tersebut terasa tidak relevan. Ada kesan menakut-nakuti bahwa hidup di kota besar itu sangat mahal.
Padahal sebenarnya hidup di Jakarta dan di kota-kota besar bisa dibuat wajar. Tidak murah-murah banget tapi cukuplah dengan nilai UMR.
Kisah-kisah yang dijual kadang-kadang terasa mengawang-awang. Memang sih ada kelompok seperti itu yang sejak lulus sudah mendapat gaji besar dan fasiitas menarik dari tempat ia bekerja.