Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Seporsi Tempe Mendoan

14 Juni 2020   14:11 Diperbarui: 14 Juni 2020   14:08 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seporsi tempe mendoan (dokpri)


Hawa Jakarta begitu gerah belakangan. Sepertinya Juni telah bertekad untuk menjadikan bulan ini sebagai awal musim kemarau. Kipas anginku menderit-derit mencoba menghalau hawa panas.

Kipas angin itu kemudian melemah dan berhenti total. Ruangan seketika gelap total. Duh mati lampu.

Hawa panas, tiada kipas berjalan dan tanpa penerangan. Kombinasi yang buruk karena ini pertanda ancaman lain akan datang. Ya, nyamuk. Mereka mulai berdatangan untuk berpesta pora.

Sepertinya mati lampu ini akan panjang. Sudah tiga puluh menitan tak kunjung menyala. Keringatku mulai deras. Sungguh tak nyaman tidur dalam hawa gerah dan ditemani nyamuk-nyamuk yang lapar.

Jarum jam pendek berada di antara angka dua belas dan satu. Jarum panjangnya tergelincir ke arah angka 15. Apa aku ke luar sejenak ya. Panas sekali di dalam rumah.

Tak lama aku telah berada di atas motorku dan berkeliling jalanan area kompleks. Sebagian rumah dan jalanan gelap dan sesekali nampak penerangan dari lilin. Hanya segelintir lampu yang menyala. Mati lampunya hampir merata.

Minggu malam tak banyak yang berlalu lalang. Mereka rupanya menyiapkan energi untuk Senin pagi, bekerja lagi, larut dalam rutinitas.

Area jalanan di sisi kanan nampak begitu senyap. Biasanya jam-jam segini tak pernah selengang ini. Tapi di sini biasanya masih ada penjual makanan yang buka hingga tengah malam. Aku mencoba peruntungan. Siapa tahu ada yang masih berjualan.

Aku beruntung masih ada pedagang makanan. Dengan ditemani pijar dari lilin dan api dari kompor, si penjual sedang asyik menggoreng. Penjual mendoan dan susu jahe. Di ujung meja kayu nampak seorang pembeli mengenakan pakaian hitam-hitam. Samar-samar karena penerangan terbatas.

Aku menyebut segelas susu jahe dan mendoan. Sebenarnya hawa panas ini enaknya menyeruput es degan. Tapi tak apa-apalah karena yang ada hanya penjual susu jahe hangat.

Ia menyiapkan pesananku dengan ringkas. Lalu ia letakkan di meja kayu dan ia memilih merokok di tempat yang agak jauh.

Sendirian, dini hari menyantap makanan di tempat yang remang-remang. Ada dua orang lainnya tapi mereka tak bersuara. Asyik dengan kegiatannya masing-masing.

Aku menghirup susu jahenya. Hangat, manis dan pedasnya pas. Ia meluncur hangat di kerongkongan. Lalu aku mencocolkan mendoan ke sambal kecapnya. Gurih dan pedas. Aku sebemarnya tak lapar tapi mendoan ini bikin aku ketagihan. Aku terus menyantapnya.

Hingga tigapuluh menit kemudian suasana masih sepi seperti ini. Tak ada lagi pembeli yang datang. Tak ada kendaraan berseliweran. Mungkin karena mati lampu orang malas ke luar. Si penjual masih asyik duduk sambil merokok. Pembeli satunya entahlah apa yang dilakukannya.

Aku menghabiskan makanan dan minuman yang tersisa. Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Meskipun rumah gelap dan panas sebaiknya aku pulang karena beberapa jam lagi sudah masuk hari kerja.

Kusodorkan uang 15 ribu. Si penjual tak memberiku uang kembalian. Ya sudahlah mungkin memang harga makanan dan minuman segitu.

Setiba di rumah, lampu juga masih belum nyala. Tapi karena lelah dan mengantuk akhirnya aku tertidur juga. Baru pukul lima lewat ku terbangun oleh kipas yang telah bergerak.

- - -

Hari ini pekerjaanku cukup banyak. Aku baru bisa pulang di atas matahari terbenam. Rasanya aku ingin membeli susu jahe dan mendoan di tempat semalam.

Kuarahkan motorku ke arah penjual susu jahe dan mendoan. Aku bingung karena tempat itu menjadi tempat si penjual kebab. Aku tengok kiri dan kanan, aku yakin di sinilah kemarin aku membeli mendoan tersebut.

Aku lalu bertanya ke penjual kebab, di mana lokasi penjual mendoan. Ia nampak kebingungan lalu bertanya ke rekannya. Rekannya menjawabnya. "Kami sudah tiga tahun berjualan di sini. Rasa-rasanya di dekat sini tak ada yang jual mendoan Pak!"

Aku kebingungan. Apa aku salah tempat ya.

Salah satu pembeli yang sedang menunggu pesanannya mendekatiku. Ia berbisik ke padaku. "Kapan Bapak membeli mendoannya?"

Aku menjawabnya semalam. Aku yakin di sinilah ia berdagang karena aku ingat lokasi pohon dan plang toko beras di seberangnya.

"Ooh Bapak nggak salah. Ia memang kadang-kadang berjualan hanya tengah malam hingga adzan Subuh. Biasanya setahun sekali ia muncul", paparnya yang membuatku terkejut.

"Nggak apa-apa Pak. Ia nggak jahat. Toh mendoan dan susu jahenya enak!"

Aku terdiam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun