Aku merasa banyak hal dari cerita Kim Ji-yeong yang terhubung olehku dan cerita-cerita dari kaum perempuan baik yang kudengar dari orang terdekatku maupun yang kubaca di media cetak dan media sosial. Yang paling mengganggu adalah stigma masyarakat. Ketika terjadi pelecehan terhadap perempuan, maka perempuan yang sering dipersalahkan. Dipertanyakan busananya, dipertanyakan perilakunya, padahal yang jelas-jelas salah adalah pelakunya. Korban perempuan juga banyak yang berpakaian rapat dan berperilaku sopan tidak mengundang perhatian, para pelakunya yang berbuat asusila.
Sama halnya dengan kisah-kisah kekerasan dalam rumah tangga, termasuk kasus perselingkuhan dan keretakan rumah tangga. Umumnya yang dipersalahkan kali pertama adalah pihak perempuan, apakah perempuannya tidak pandai berdandan, kurang perhatian ke suami dan sebagainya. Kasus perselingkuhan juga banyak menjadikan sasaran pihak perempuan yang dianggap sebagai satu-satunya penggoda. Padahal bisa jadi si suami juga punya kontribusi besar.
Masih banyak ketimpangan yang masih dirasakan oleh perempuan termasuk di negeri ini. Misalnya dari segi perlakuan, gaji, promosi kerja, juga kesempatan memimpin.
Ketika membaca bagian yang memicu Kim Ji-yeong depresi, aku merasa memahaminya. Ia sejak menjadi ibu rumah tangga merasa terjebak. Begitu banyak pekerjaan, mengasuh anak dan melakukan pekerjaan sehari-hari. Pekerjaan itu seperti tak ada henti-hentinya membuatnya lelah secara fisik dan mental.
Tak sedikit perempuan yang mengalami baby blue sindrome. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda setelah ia melahirkan. Ia dituntut untuk mampu menjadi ibu yang baik. Setelah menjadi istri dan seorang ibu, hidupnya kemudian seperti di balik bayang-bayang. Ia bisa dianggap egois jika memperturutkan kariernya. Ia diminta untuk lebih memperhatikan suami dan anak-anaknya, kebutuhannya sendiri seolah-olah nomor kesekian.
Dalam cerita Kim Ji-yeong, ia mulai kehilangan jati dirinya. Ia merasa dirinya sudah terengut. Kemuakannya yang terpupuk sejak kecil di mana ia sebagai kaum perempuan seolah-olah hanya dianggap 'warga kelas dua' Â kemudian terakumulasi. Puncaknya ia kemudian mengalami depresi.
Lantas bagaimana agar tidak terjadi kasus Kim Ji-yeong baru?
Kim Ji-yeong telah mengalami 'diskriminasi' sejak kecil. Orang-orang terdekatnya, orang tua, nenek, dan gurunya lebih mengistimewakan anak laki-laki daripada anak perempuan. Menurutku sebaiknya orang-orang dewasa memberikan perlakuan yang adil kepada anak-anaknya. Dunia kerja juga sebaiknya memberikan gaji dan kesempatan yang sama kepada karyawannya berdasarkan kompetensinya.
Yang tak kalah penting adalah memperbaiki stigma masyarakat. Perempuan jangan hanya dijadikan sebagai pelaku. Ketika terjadi pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan maka jangan perempuan yang malah 'dihukum', 'dipasung hak-hak'-nya dan 'diikat rapat'. Yang lebih penting adalah memberikan ajaran kepada para pria sejak kecil untuk menghormati kaum perempuan dan menjaga matanya. Demikian dengan urusan berumah tangga, pekerjaan domestik bukan hanya urusan istri. Ia bisa dikerjakan berdua, suami dan istri.
Ya, ada banyak hal menarik dalam novel "Kim Ji-yeong: lahir tahun 1982". Ini bukan tentang gerakan feminisme, tapi bagaimana agar perempuan tidak terus-terusan tertindas oleh praktik misoginis dan budaya patriarki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H