Seorang kawanku suatu hari mengumpulkan tulang dan kepala ikan yang habis dimakannya. Aku penasaran akan sikapnya karena biasanya aku yang suka melakukannya. "Punya kucing?" tanyaku. Ia mengangguk.
Ia bercerita ada kucing-kucing yang suka mampir ke rumah kontrakannya. Karena kasihan sesekali ia memberinya makanan. Meskipun ia tahu kucing-kucing itu akan kembali, jika ada makanan lebih maka ia berikan ke mereka. Kemudian ia meniruku membawa kepala ikan dan bagian ikan lainnya yang masih tersisa untuk oleh-oleh para kucing.
Aku sendiri suka membawakan oleh-oleh buat kucingku. Di tempat kerja aku dikenal kurang suka makan ayam. Jika ada rapat dan menunya ayam maka biasanya kubawa pulang. Aku hanya makan nasi bersama tempe tahu plus sambalnya atau beli lauk di kantin bawah.
Alasannya, Nero doyan sekali makan ayam goreng. Kalau ayam gorengnya kampung, biasanya kubawa buat pasangan. Tapi kalau ayam goreng negeri kubawakan buat si Nero. Ekornya akan berkibas-kibas gembira apabila aku membawakannya ayam goreng.
Beberapa kali ada acara dengan menu ayam goreng fast food. Aku hanya memakan pinggirannya, selebihnya kubawa pulang. Temanku yang tahu aku membawakan buat si Nero pun merasa iri. Waduh, kucingnya kayak sultan, makan ayam goreng fast food.
Kebiasaan membeli oleh-oleh buat pata kucing melekat. Jika beli lele penyet, maka aku beli dua. Satu buatku dan satu dimakan rame-rame oleh si Mungil, Nero, dan si Kidut. Kalau ati ayam biasanya hanya Nero yang suka. Nero paling gampang dibelikan oleh-oleh, ia hampir semuanya suka.
Ketika berbelanja ke swalayan, aku juga kadang-kadang otomatis mengambil sachet makanan kucing basah atau yang kering. Jika mendapat rejeki lebih, seperti mendapat voucher atau bonus dari tempat kerja, maka aku juga merasa ada jatah para kucing di antara rejeki tersebut dan membelikan makanan kesukaan mereka. Si Kidut suka pasta salmon, si Mungil suka ikan segar, dan si Nero doyan kaldu daging dan ayam goreng.
Teman-temanku Lebih Ajaib
Mereka yang kemudian punya kucing kemudian juga meniru kelakukanku. Mereka jadi tak malu membungkus makanan. Seorang rekan senior suka membungkus nasi dan apa saja untuk anjing peliharaannya.
Seorang blogger bercerita jika ia setiap pagi jadi rajin ke pasar. Ia membeli banyak keranjang ikan cue alias ikan pindang karena kucingnya ada banyak. Lebih dari sepuluh. Wow.
Aku sendiri kadang-kadang cemas jika makanan kucing ludes. Aku pun merayu pasangan untuk mengantarku ke pasar atau ke Kramat Jati untuk membeli ikan. Ikan cue memang relatif terjangkau. Satu keranjang rata-rata Rp 4-5 ribu dengan isi dua. Jika dimakan langsung memang tidak mengenyangkan. Tapi jika dicampur sedikit nasi bisa buat makan berat tiga ekor kucing.
Sekali ke pasar aku membeli 10-15 keranjang. Biasanya seminggu sudah ludes. Di rumah hampir selalu ada stok pakan kucing kering. Hanya ada beberapa sachet makanan basah untuk selingan.
Ya kalau dihitung-hitung bujet makanan kucing cukup banyak. Dulu waktu hanya Nero cukup Rp 200 ribuan sebulan. Kini setelah ada tiga kucing dan beberapa kucing liar yang suka mampir maka aku harus sedia anggaran Rp 400-700 ribu hanya untuk makanan mereka.
Jika Sakit Ditahan, Jika Kucing Sakit Kelabakan
Biasanya pecinta kucing rajin berhemat untuk dirinya sendiri. Ke dirinya sendiri suka pelit. Jajan secukupnya. Tapi ketika ia melihat makanan kucing diskon maka tak ragu langsung dibelinya. Begitu juga dengan soal kesehatan tubuhnya.
Ketika ia sakit maka ia cukup berobat dengan obat ringan yang ada di rumah plus minum susu dan makanan bergizi. Baru kalau sudah agak lumayan ia berangkat ke klinik atau puskesmas dengan BPJS.
Tapi jika si kucing susah makan? Wah mereka kelabakan. Biasanya dua hari tak sembuh mereka pun membawanya ke klinik hewan. Biayanya hanya untuk konsultasi berkisar Rp 60-100 ribu. Belum obat dan makanan sementara mereka. Biaya vaksinasi dan sterilisasi jika ke klinik juga mahal, ratusan hingga satu juta. Biaya berobat si kucing jauh lebih mahal daripada manusia.
Membersihkan kotoran kucing juga kerja berat tersendiri. Bau kotoran mereka tajam dan menuntut untuk segera dibersihkan. Aku harus pakai masker dan menahan nafas ketika membersihkan bak pasir si Kidut.
Bentuk pengobanan pecinta hewan ke peliharannya tidak sedikit. Kawanku rela menyuapi kucingnya yang sakit. Ada juga yang memberi kucingnya pakaian khusus agar kucingnya nyaman. Ada juga yang rajin memandikannya di klinik agar kucingnya selalu bersih.
Aku kadang-kadang izin masuk agak siang demi memeriksakan kucingku ke klinik. Pernah suatu ketika aku dua hari jalan berkeliling hujan-hujan karena Si Mungil kabur ketika akan dibawa ke klinik. Ketika aku pergi ke luar kota maka kucing-kucing tersebut kutitipkan pak satpam. Pak satpam memberi makan dua kali ke mereka dengan datang ke rumahku karena mereka jenis kucing yang tak bisa tinggal di kandang.
Orang awam akan berkata kok segitunya mau melakukannya? Apalagi cuma buat kucing kampung.
Aku dan beberapa kawanku memelihara kucing kampung. Mereka yang memilih kami dan kami tak tega untuk membiarkannya. Biarpun kucing kampung mereka juga hewan yang baik dan perlu kasih sayang.
Sayangnya aksi peduli hewan ini kadang-kadang mendapat perlawanan. Kawan-kawan bercerita bagaimana komunitas pecinta hewan yang menyediakan subsidi untuk vaksinasi dan sterilisasi hewan malah suka diserang. Mereka menyasar ke kucing kampung dan mereka paham betapa mahalnya biaya vaksin dan steril.Â
Aksi pengancaman ke komunitas peduli kucing ini dikarenakan ada pihak yang takut adanya kegiatan vaksinasi dan sterilisasi murah akan merusak harga pasar. Padahal target pasar mereka berbeda, sasaran mereka adalah kucing liar dan kucing kampung. Sebaiknya juga pihak-pihak tersebut senang karena semakin banyak masyarakat yang peduli terhadap nasib para hewan di sekelilingnya.
Sebenarnya ada lagi kelakuan-kelakuan ajaib pecinta hewan. Atau Kalian punya cerita tersendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H