Di rumah ibu sudah siap dengan nampan lainnya dan piring yang telah dialas daun pisang di atasnya sudah ada nasi yang dicetak dan lauk yang ditata rapi. Aku berlomba dengan kakak siapa yang lebih dahulu selesai.
Wadah dan Menunya Berubah
Alas daun pisang itu kemudian berubah menjadi alas kertas cokelat. Tutup piring juga tak lagi serbet kotak-kotak bersih tapi diganti dengan kertas cokelat atau tisu makan.
Jaman kemudian berubah, menjadi lebih praktis. Para ibu tak lagi menggunakan piring tapi semacam besek dari plastik. Ibu pun ikut-ikutan tren tersebut. Dengan besek tersebut maka kami tak repot mencuci piring. Kami juga tak menunggu tetangga mengembalikan piring kami.
Dari besek plastik kemudian berubah lagi menjadi kardus cokelat dan sterofoam. Alasannya lagi-lagi kepraktisan.
Menunya juga makin variatif. Menu ater-ater tak lagi hanya nasi rames atau nasi kuning atau kue-kue apem, tapi terserah pengirimnya. Kadang-kadang kami menerima ayam panggang separuh plus sambal tanpa nasi. Ada juga yang mengirim makanan kateringan.
Bungkus makanannya bisa kardus atau sterofoam. Ketika kemudian sterofoam dilarang maka ada juga yang mengirim ater-ater dengan wadah plastik yang oke. Wadah ini bisa digunakan lagi.
Sudah beberapa tahun terakhir ini ibu tak masak. Ia menggunakan jasa katering atau pemesanan makanan. Lebih hemat waktu. Untuk urusan biaya sih relatif. Menu favorit ibu rata-rata ayam panggang utuh atau separuh dengan lalapan atau nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya.
Coba ke Malang beberapa hari sebelum Ramadan. Biasanya rumah ibu atau keluarga kalian akan banyak menerima 'ater-ater'. Bahkan kadang-kadang saking banyaknya, setiap orang dalam satu rumah dapat jatah satu dus makanan sendiri-sendiri. Nah pada lima hari terakhir ini ibu memilih tak masak, cukup menyiapkan takjil saja. Kami bersantap makanan ater-ater dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H