Kartini dikenal sebagai perempuan yang berani mendobrak tatanan sosial masa itu yang kurang berpihak pada kaum perempuan. Ia berupaya memajukan kaum perempuan dengan memberikan pendidikan lewat sekolah yang didirikannya.
Kisah emansipasi Kartini kemudian dilayarlebarkan. Terhitung sudah ada tiga film yang bercerita tentang Kartini, "R.A Kartini (1982)", "Surat Cinta untuk Kartini (2016)", dan Kartini (2017)".Â
Di daerah lain, pada era yang hampir sama atau setelah Kartini, juga ada perempuan-perempuan hebat yang juga bercita-cita tinggi seperti Kartini, di antaranya Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, dan Athirah. Beberapa di antaranya telah  mendapatkan kesempatan untuk dilayarlebarkan.
Kisah para perempuan hebat memajukan pendidikan yang telah dirilis dalam versi layar lebar belum banyak. Kali ini saya ingin membahas tentang "Nyai Ahmad Dahlan" dan "Athirah".
Film "Nyai Ahmad Dahlan" dirilis pada tahun 2017. Film ini dibintangi oleh Tika Bravani dan David Chalik serta disutradarai oleh Olla Atta Adonara.Â
Seperti judulnya, ia adalah istri dari Ahmad Dahlan, pendiri dari organisasi keagamaan Muhamammadiyah. Sebelum film biopik khusus Nyai Ahmad Dahlan dirilis, sosoknya juga muncul dalam film "Sang Pencerah (2010).
Dikisahkan Nyai Ahmad Dahlan yang memiliki nama gadis Siti Walidah adalah perempuan yang cerdas dan memiliki pengetahuan tinggi dalam ilmu agama. Ia belajar di rumah, tentang ilmu agama, membaca Al-Quran dan mempelajari bahasa Arab.
Ia lahir pada tahun 1872 di Kauman, Yogyakarta, beda tujuh tahun dengan Kartini yang lahir di Jepara pada tahun 1879. Serupa dengan kondisi di Jepara, pada masa itu pendidikan untuk kaum perempuan masih nomor kesekian.
Sopo Tresno kemudian berubah nama menjadi Aisyiyah, pada 22 April 1917, terinspirasi dari nama isteri Nabi Muhammad. ia pun menjadi kepala sekolah, mendirikan sekolah keputrian dan asrama mengajarkan baca tulis dan pendidikan berbasis Islami bagi kaum perempuan agar kedudukan mereka setara dengan suami mereka kelak.
Melalui Aisyiah ada empat unsur utama pendidikan, pendidikan di rumah, sekolah, masyarakat, dan di tempat ibadah. Aisyiyah kemudian memiliki cabang dan mendapat respon positif dari  kaum perempuan.