"Kamu masih berpura-pura kakakmu ini tidak tahu?!"
Wajah kakak memerah. Nampaknya ia memang sedang marah besar. Ia lalu menunjuk jejak di lantai. Oh itu jejakku. Jejak kakiku nampak mencolok karena kakiku masih belepotan tanah. Dan apa itu di kertas. Aku menuliskan di kertas itu, 'musik Indonesia telah mati'. Ooh tak ada gunanya berkelit, aku sudah ketahuan.
Aku pun mengangkat tangan. Aku menyerah. Kakakku ini memang jempolan dalam soal investigasi.
"Aku pelakunya Kak, aku yang mengotori lantai dengan jejak kakiku. Aku juga yang menuliskan aksi protesku itu. Aku juga yang menguburkan koleksi kaset itu..."
Kakakku nampaknya kaget mendengar pengakuanku. Ia langsung lari terbirit-birit ke halaman belakang. Ia nampak syok ketika melihat timbunan tanah dan langsung menggalinya. Ia merusak pekerjaanku.
Ia menangis sambil berkali-kali berkata betapa sedihnya memiliki adik yang bodoh sepertiku. Aku tak tahu kesalahanku. Aku juga sedih karena hasil jerih payahku hari ini rasanya tak ada harganya.
Kakakku menyeret peti itu. Ia menunjukku, memintaku membantunya mengangkat peti itu. Ia nampak kesal dan geram akan perbuatanku. Ia menghela nafas panjang dan memintaku menjelaskan maksudku.
Aku pun bercerita ini adalah aksi protesku. Aksi protes atas situasi memprihatinkan musik tanah air saat ini. Aku telah membuat vlog dan siaran langsung atas tindakan protesku itu termasuk ketika mengubur koleksi kaset itu. Aku berharap seluruh tanah air tahu bahwa aku mewakili orang-orang yang sedih akan kondisi musik tanah air yang dipenuhi lagu-lagu yang tak bermutu, hanya asyik buat joget tanpa lirik bermakna dan pesan penting.
Kakakku nampak tak tersentuh. Ia mendengarkan penjelasanku sambil mengelap dan menaruh kembali koleksi kaset tersebut di dalam rak kaca.
"Itu tak membantu, hanya tindakan bodoh!"
"Yang penting pesannya, Kak. Aku ingin musisi tanah air juga paham bahwa mereka harus bergerak untuk menghidupkan lagi musik Indonesia!"