"Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional". Aku mencibir ketika membaca paragraf pertama sebuah artikel memeringati hari musik nasional. Apa lagi yang diperingati? Toh, musik nasional sudah mati.
Musik Indonesia sudah mati. Aku mengucapkan kalimat ini berulang kali. Seperti mantra. Atau hanya kalimat affirmatif pembenar akan tindakanku berikutnya.
Aku telah mengumpulkan album kaset dan CD lagu-lagu Indonesia yang telah kukoleksi sejak masih kecil. Koleksi ayah dan ibuku juga kumasukkan ke dalam peti kecil itu. Ada Koes Plus, Franky & Jane, Panbers, Ebiet G. Ade, Iwan Fals, Gigi, Dewa 19, Padi, KLa Project, Sheila on 7, Potret, Nike Ardila, Tere, Rossa, termasuk album CD Tulus, Afgan, dan Isyana Sarasvati. Semuanya sudah terkumpul. Kutata rapi ke dalam peti tersebut.
Hari ini langit bersih. Aku memutuskan untuk cuti hari ini. Kukumpulkan semangat dan energi. Aku akan menggali.
Sebuah lubang besar menganga di depanku. Aku menegang. Benarkah tindakanku ini, ataukah nanti aku menyesal?
Kuseret peti itu. Ia nampaknya enggan untuk masuk ke dalam lubang itu. Kutimbun dengan tanah. Aku pun kemudian merasa lega. Aku tak menyesal.
Toh musik Indonesia memang sudah lama mati. Aku tak menyesal untuk menimbun peti itu. Sebagai tanda cinta bagi anak cucuku kelak. Suatu ketika mereka akan menghargai harta peninggalanku itu. Karya cipta seni dari musisi Indonesia yang luar biasa. Sayangnya kreasi mereka kalah oleh musik-musik sampah yang mudah beredar karena viral.
- - -
"KANA!" APA YANG KAUPERBUAT!"
Oh malapetaka datang. Aku mendadak menciut. Kakakku apa tahu apa yang telah kulakukan barusan.
"Siap Kak. Ada apakah memanggil hamba barusan?" Aku bergegas datang dan kemudian diam dengan posisi hormat. Biasanya kakakku mudah luluh jika aku menyebutkan diriku hamba di depannya.
"Kamu melakukannya ya?" Kakakku, Kara, bertanya dengan nada memaksa. Duh, aku mengaku tidak ya?! Aku harus berani dan bisa membela diri.
"Siap Kak. Kana tadi menyapu, membuat sarapan, dan menguras bak mandi," aku memaksa diriku nampak polos.