Butet Manurung membuktikan perempuan bisa melakukan perubahan besar dengan pendidikan dan cinta kasih. Kisah perjuangan Butet dalam proses belajar-mengajar di rimba Jambi terabadikan dalam sebuah film berjudul "Sokola Rimba".
Dalam film yang dirilis tahun 2013 ini terlihat upaya keras Butet Manurung (Prisia Nasution) untuk memberikan materi belajar mengajar ke anak Rimba di Jambi. Ia harus naik motor seorang diri sekitar tiga jamanan, lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju hulu sungai Makekal yang terletak di hutan bukit Duabelas.
Sudah dua tahun ia menjalani proses tersebut. Ia mengajari anak-anak rimba membaca dan menulis, juga berhitung. Beberapa anak nampak akrab dengannya dan dengan senang hati belajar dengannya.
Hingga suatu ketika datanglah seorang anak laki-laki bernama Nyungsang Bungo. Anak laki-laki dari hilir itu pernah menolongnya saat ia terserang demam di tengah hutan. Rupanya anak laki-laki itu ingin belajar membaca, agar bisa membaca surat perjanjian di mana orang luar dapat mengesploitasi tanah adat mereka.
Meminta ijin mengajar ke bagian hilir tidaklah mudah. Butet tetap mencobanya meski belum mendapatkan ijin dari kantornya bekerja. Lima hari berjalan barulah ia tiba di hilir, tapi tak sampai satu bulan ia kemudian diusir karena sebagian orang tua di hilir menganggap alat tulis adalah sumber penyakit. Butet hampir putus asa hingga kemudian muncul dukungan.
Film yang disutradarai Riri Reza ini telah ditayangkan tujuh tahun yang lalu. Meski demikian masih bisa dinikmati di beberapa layanan streaming legal. Ada banyak hal menarik yang bisa dipetik dalam film ini.
Dalam film "Sokola Rimba" kondisi rimba digambarkan apa adanya. Ada bagian hutan yang rusak, gelondongan kayu dari pembalak liar, juga bagian-bagian hutan yang telah berubah menjadi perkebunan sawit.
Tidak ada sudut-sudut gambar landscape yang memberikan nuansa romantis dan dramatis di sini. Apa adanya. Tempat tinggal sederhana, langit gelap tanpa penerang selain dari api unggun, dan sungai yang juga digunakan sebagai tempat membilas pakaian. Anak rimba laki-laki juga hanya mengenakan sarung kecil.
Dengan kondisi apa adanya ini penonton diajak untuk melihat kondisi riil hutan dan masalah yang menimpa penghuninya. Mereka semakin terkepung dan didesak untuk menerima perubahan. Mereka tak lagi nyaman hidup di tanah mereka sendiri.Â
Buruan semakin sulit didapat, berladang juga makin susah. Keterbatasan mereka dalam membaca dan berhitung menjadikan mereka korban dalam perjanjian dan transaksi jual beli. Sementara di satu sisi sebagian orang tua pedalaman masih menganggap pena adalah sumber penyakit dan sumber masalah.
Demi perannya ini Prisia rela tiga minggu berdiam di dalam hutan, mempelajari bahasa dan kebiasaan mereka. Ia tak sungkan ikut mandi di sungai bersama para perempuan rimba. Dan upayanya ini memberikannya hasil sebagai pemeran utama wanita terfavorit di ajang Indonesian Movie Award 2014.
Ketika menyaksikan film ini aku merasa sedih dan cemas. Aku bertanya-tanya apakah orang rimba baik-baik saja pada saat karhutla tahun lalu yang begitu parah.
Menurutku film "Sokola Rimba" ini memberikan banyak pesan, siapapun berhak untuk mendapatkan pendidikan. Alam rimba juga patut dijaga karena banyak orang yang bergantung dan hidup selaras bersamanya. Pemerintah daerah juga jangan takut dan kalah oleh korporasi yang tamak dalam mengeksploitasi alam, karena tugas pemerintah daerah melindungi warga dan lingkungannya.Â
Selain itu, pesan lainnya yang tak kalah penting, perempuan juga bisa memberikan kontribusi besar. Salah satunya lewat pendidikan seperti yang dilakukan Butet Manurung. Mari kita bantu perjuangannya untuk terus menyebarkan pendidikan di antaranya dengan berdonasi ke program Sokola Rimba. Selamat hari perempuan internasional.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H