"Women, they have minds, and they have souls, as well as just hearts. And they've got ambition, and they've got talent, as well as just beauty..." ---Jo March (Little Women, Louisa May Alcott)
Film "Little Women" meskipun sudah diadaptasi berulang kali tetap menarik untuk disimak. Meski sama-sama mengangkat novel karya Louisa May Alcott, cita rasa dan nuansa film "Little Women besutan Greta Gerwig dan Gillian Amstrong terasa berbeda. Yang sama adalah pesan dalam film ini bahwa setiap wanita itu punya ambisi dan mimpi masing-masing. Biarkan melambung tinggi, jangan dibatasi.
Aku ingat pernah menyaksikan film "Little Women" ala Winona Ryder waktu masih kecil. Menurutku ceritanya hampir persis dengan cerita dalam novelnya. Kebetulan aku juga masih menyimpan novelnya dengan cover film "Little Women" yang dirilis tahun 1994.
Sementara "Little Women" yang tayang mulai 7 Februari 2020 di Indonesia ini nampak kontemporer. Ia mengunakan alur maju mundur yang demikian cepat, sehingga penonton harus jeli membedakan masa kini dan masa lampau dalam cerita tersebut.
Dikisahkan Josephine alias Jo March (Saoirse Ronan) telah menjadi guru privat anak-anak sebuah keluarga di New York. Di sela-sela kesibukannya ia menulis dan kemudian menawarkan karya tulisnya kepada editor bernama Dashwood. Ia nampak kecewa melihat banyak bagian tulisannya yang dicoret-coret. Untungnya tulisannya masih diterima dan ia mendapatkan honor yang lumayan.
Jo March sejak dulu menjadi salah satu breadwinner alias pencari uang di keluarganya. Ia pekerja keras dan ingin menjadi seorang penulis yang sukses.
Tapi kemudian ia kecewa dan kesal karena seorang rekannya di New York, Prof. Friedrich Bhaer, menilainya kurang optimal dalam menulis. Ia begitu marah kepadanya hingga ketika ada kabar adiknya, Beth (Eliza Scanlen) sakit keras, maka ia pun pulang ke Concord, Massachussets.
Di tempat lain, adik bungsu Jo, Amy March (Florence Pugh), sedang di Paris menemani bibi March. Ia berpapasan dengan Laurie (Timothee Chalamet). Ia nampak lesu dan tak bersemangat sejak Jo menolaknya.
Cerita kemudian berganti ke masa lalu, tujuh tahun silam, ketika keempat kakak beradik itu tinggal bersama di rumah mereka yang sederhana. Ayah mereka terjun ke perang sipil.
Keempatnya punya karakter yang unik dan mimpi masing-masing. Jo paling tomboy di antara mereka. Ia ingin menjadi penulis yang terkenal. Meg (Emma Watson) yang paling cantik hanya ingin menjadi istri yang baik dan keluarga kecil yang bahagia. Sedangkan Beth yang pemalu ingin bisa bermain piano. Sementara Amy si bungsu ingin selalu keinginanya dipenuhi dan menjadi pelukis yang terkenal.
Cerita tentang Emansipasi Wanita
Greta Celeste Gerwig melambung berkat "Lady Bird" di mana ia juga menyandingkan Saoirse Ronan dan Timothee Chalamet di situ. Melihat dari dua film tersebut ada benang merah yang nampak di keduanya.
Keduanya sama-sama memiliki pemeran utama wanita yang karakternya menonjol. Ada pesan di dalam kedua film tersebut, wanita bisa jadi apa saja yang diinginkannya. Kedua film ini juga menggambarkan hubungan tokoh utama dengan keluarga dan kawan-kawan di sekelilingnya.
Dalam "Little Women" atmosfer kehangatan keluarga dan hubungan yang akrab antar tetangga begitu terlihat. Meskipun hidup mereka sangat pas-pasan, Meg, Jo, Beth, dan Amy nampak selalu bersemangat dan gembira, berlatih dan menampilkan pertunjukan drama, bermain bersama Laurie, dan sebagainya. Nuansa yang hangat ini didukung oleh sinematografi yang atmosferik dan skoring yang menawan.
Ini kali kedua Saoirse disandingkan dengan Timothee oleh sutradara yang sama. Tak heran jika mereka nampak nyaman berakting sebagai sahabat. Florence Pugh setelah perannya di Midsommar, semakin bersinar. Ia menonjol di sini meski ia nampak agak ketuaan ketika menjadi Amy kecil.
Selain sinematografi, akting, cerita, dan grading yang apik, film ini juga didukung oleh desain kostum yang menawan. Gambaran gaun pertengahan tahun 1800-an dengan gaun panjang berenda dilengkapi sarung tangan nampak feminin dan elegan.
Kostum yang dikenakan pemain juga memperkuat karakter yang diperankan seperti Jo yang bajunya sering nampak asal-asalan, dibandingkan saudari-saudarinya. Tak heran jika film ini meraih Oscsr untuk 'best costume design'.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H