Anggotanya tidak banyak, tidak sampai 10 orang. Tapi tiap anggota benar-benar maniak film dan minatnya khusus, ada yang otaku, penyuka hal-hal seputar Jepang, ada juga yang suka film Asia, dan sebagainya.Â
Dari komunitas ini aku kemudian terdampar dan terlibat di beberapa komunitas film lainnya, meski beberapa di antaranya hanya sebagai pengamat. Ada Anak Nonton, Forum Festival Bandung, dan sebagainya.Â
Baru awal 2017 aku terlibat aktif di komunitas film Kompasiana alias KOMiK. Selama tiga tahun lebih berkutat dengan KOMiK, ada beberapa hal unik yang membedakan KOMiK dengan komunitas film lainnya.Â
Sebagian komunitas film yang kuikuti rata-rata berisik. Apa saja dibahas dan menjadi bahan diskusi.Â
Mereka doyan nonton. Tapi hanya sebagian yang menuliskan ulasannya, lainnya hanya suka berkomentar singkat atau memberikan testimoni di akun media sosial mereka. Intinya, sebagian dari mereka bakal ogah jika diajak nobar lalu diberikan kewajiban untuk menulis. Ini kebalikan dari Komiker.Â
Komiker lahir dari kompasianer. Jiwa mereka adalah menulis, menonton adalah hobi atau minat mereka. Pada umumnya komiker rajin menulis, tai untuk menonton mungkin mereka pilih-pilih atau menunggu even.Â
Tidak semua komiker benar-benar maniak film, yang setiap minggu atau setiap bulan memiliki agenda untuk nonton film.Â
Pengertian gagal di sini tidak banyak yang bersedia menulis, meskipun di awal dberitahukan ada kewajiban menulis. Faktor berikutnya yaitu komitmen.Â
Banyak yang membatalkan diri beberapa saat sebelum acara dimulai. Oleh karenanya ketika admin Kompasiana meminta lebih banyak mencari anggota baru di luar Kompasiana, aku mikir-mikir. Yakin nih. Intinya komiker itu unik. Ketika membuat even untuk komiker dan nonkomiker itu memerlukan formula yang berbeda.
Tadi siang aku datang di acara ngobrol bersama komunitas. Sayangnya hanya ada mas Kevin sebagai perwakilan Kompasiana. Kasihan mas Kevin jadi sasaran keluhan dan kritik, termasuk dari KOMiK.Â