Kini pedagang makanan semakin beragam di kawasan ini. Baik yang berupa restoran besar, kedai sederhana, maupun warung tenda dan makanan kaki lima mencoba menarik pembeli dengan tampilan dan aroma makanannya. Fasilitas WiFI, AC, dan ruangan yang nyaman biasanya disuka rombongan anak muda. Sementara aku lebih mudah tergoda oleh aroma dan makanan yang tidak begitu mahal.
Kini petang ini aku membiarkan langkahku dan mataku bersatu padu menelusuri satu-persatu makanan yang dihidangkan di Taman Solo. Tak kutemukan mie ayam ataupun bakmi. Aku pun kemudian terpaku dengan nasi goreng kambing yang disajikan oleh warung tenda.
Aku menyibak kain dan masuk ke dalam tenda. Tempatnya sederhana. Menunya serba kambing, termasuk nasi gorengnya. Aku pun kemudian sabar menunggu dan mencoba untuk tak marah ketika ada pembeli lainnya yang asyik merokok.
Ibunya memasak dengan brutal. Ia tak memperlakukan bahan makanan dengan rasa sayang. Ia memasak dengan api besar ketika memulai untuk tumisan. Aku merasa ngeri bawang putih dan lainnya bakal gosong.
Ya nasi goreng kambing itu terhidang. Tampilannya sederhana. Untunglah rasanya lumayan meski daging kambingnya hanya seperti aksesori belaka.
Rupanya aku lapar. Sebagian nasi goreng pun masuk ke dalam perut. Ditutup dengan jeruk hangat.
Dulu aku punya nasi goreng kambing langganan di kawasan ini. Nasgornya sedap dan irisan daging gorengnya cukup banyak. Harganya juga tak begitu mahal.
Entah kemana pedagang nasgorkam itu pindah. Nasgorkam yang kusantap kali ini rasanya sulit menggantikannya.
Pembeli kini mulai ramai. Langit pun juga mulai menggelap, sebentar lagi matahari terbenam. Aku merapikan tas dan jaketku, perjalanan pulang bakal panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H