Klinik hewan itu sore tadi cukup ramai. Aku dan kucingku, si Kidut, harus menunggu sebelum mendapatkan pelayanan medis. Kuperhatikan ada lebih dari lima kucing yang menjalani rawat inap.Â
Ada yang mulai sembuh dan lincah, namun ada pula yang masih lesu dan lemas. Kondisi mereka masih jauh lebih baik daripada Kidut.
Aku menyambut Kidut dengan perasaan campur aduk. Senang sekaligus sedih. Ia tak pulang berhari-hari, membuatku begitu risau. Tapi kedatangannya pagi ini membuatku kalut.Â
Aku tahu jika aku tak membawanya ke dokter hari ini maka aku bisa kehilangan dirinya. Aku tak ingin menyesal. Aku pun kemudian memutuskan cuti untuk merawat dan membawanya ke dokter.
Drama sebelum ke klinik ada saja. Hari ini ada tenggat membuat revisi rancangan desain analisis prediktif ke klien. Si Kidut beberapa kali kabur, bersembunyi ke kolong kursi.Â
Kucing-kucing lainnya, Nero, si Kecil, dan si Mungil nampak menjauhi si Kidut. Mungkin mereka takut tertular.
Akhirnya Kidut berhasil kumasukkan ke kandang. Aku memesan taksi daring untuk mengantar ke klinik yang disambut oleh pengemudinya dengan senyum masam ketika aku meminta izin apakah kandangnya boleh kutaruh di jok karena tidak muat kutaruh bawah.
Perjalanan yang sebenarnya tidak lebih dari dua kiloan terasa jauh karena aku gelisah. Ketika masih menunggu antrean aku terus berharap Kidut bakal baik-baik saja dan tidak mendobrak pintu kandang.Â
Si Mungil pernah melakukannya. Ia sukses kabur dan membuatku pusing dua harian mencarinya.
Kidut tidak baik-baik saja. Ia nampak kesakitan ketika diperiksa. Ia menjalani tes darah dan trombositnya begitu rendah.
Kidut yang malang ia nampak begitu kurus dan lemah. Seandainya aku lebih sigap untuk segera mengantarnya untuk suntik vaksin dan tak menundanya.
Kidut begitu lemas. Raut mukanya nampak kesakitan dan kesusahan. Aku harus mengijinkannya rawat inap agar ia bisa diinfus dan dirawat secara intensif.
Ketika berupaya menghiburnya, aku berupaya menyingkirkan jauh-jauh tentang biaya pengobatannya. Biaya berobat kucing menurutku cukup mahal, apalagi jika sampai rawat inap.
Dulu kucingku Nero juga pernah terpaksa harus rawat inap. Ia tak doyan makan dan badannya terus melemah. Aku terkejut mengetahui total biaya yang harus kubayar. Pada saat itu aku berharap ada kartu BPJS untuk kucing.
Biaya pemeliharaan dan biaya pengobatan kucing tak murah untuk ukuranku. Tapi aku juga tak ingin menyesal jika tak berupaya mengobati mereka semaksimal mungkin.
Ada empat kucing di rumah saat ini. Mereka semuanya lahir di sekitaran rumah, di halaman depan atau di samping. Mereka kucing kampung yang tak tega kuusir. Mereka kubiarkan tumbuh, bermain, dan kemudian beranak-pinak.Â
Temanku sebagian keheranan mengapa kucing kampung harus dibawa ke klinik. Ia bukan jenis kucing mahal, kata mereka.Â
Bagiku semua kucing yang ada di dekatku adalah istimewa. Mereka kawan-kawanku. Ketika mereka sakit aku juga ikut sedih. Tak peduli kucing ras atau kucing kampung.
Sebenarnya mereka harus rutin ku periksakan kesehatannya ke dokter. Mereka juga sebaiknya kusterilkan agar tak terus beranak-pinak dan si Nero bisa mengerem keinginannya untuk berkelahi.
 Ya, biaya sterilisasi kucing juga tak murah. Yang agak terjangkau adanya di rumah sakit hewan di Ragunan.
Seandainya ada BPJS hewan peliharaan. Tapi sepertinya harapan ini hanya mimpi. Hal ini sebenarnya peluang bagi perusahaan asuransi untuk menawarkan asuransi kesehatan bagi hewan peliharaan. Sepertinya bakal lumayan banyak peminatnya.Â
Benefitnya pemilik kucing bisa melakukan vaksinasi, grooming, pemeriksaan kesehatan, pengobatan, hingga sterilisasi, dan pemakaman yang layak bagi para kucing.
Sepertinya asuransi kesehatan kucing sekedar angan-angan. Aku berharap si Kidut segera sembuh dan kemudian melakukan aktivitas rutin yang disukainya, membangunkanku dan menyambutku setiap pulang kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H