Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Waktu Bekerja Berkurang, Karyawan Lebih Bahagia?

8 November 2019   19:26 Diperbarui: 9 November 2019   11:03 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia terus berubah, demikian juga dengan kebiasaan dan aturan bekerja. Beberapa hari lalu aku tertarik dengan judul berita di Kompas tentang pengurangan waktu bekerja di Microsoft Jepang. 

Dari yang lima hari menjadi empat hari kerja. Uniknya disebutkan di dalam berita tersebut produktivitas karyawan malah meningkat 40 persen dibandingkan sebelumnya

Berita ini berhasil membuatku tercenung. Aku sempat mencicipi bekerja di sebuah perusahaan Jepang. Di sana kami dibiasakan hidup disiplin dan bekerja keras. Kami datang pukul delapan dan pulang pukul lima.

Awal kali pertama masuk bekerja, aku melihat beberapa karyawan lembur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tapi kemudian aku melihat perubahan, karyawan malah disarankan untuk bekerja efektif dan menghindari lembur. 

Dengan tidak adanya lembur maka perusahaan menilai jadi lebih efisien. Kami malah diminta menulis alasan apabila kami lembur. Tapi waktu itu biasanya tetap ada yang lembur.

Ya, selama ini kupikir perusahaan Jepang itu konservatif. Budaya bekerjanya disiplin dan workaholic yang seperti mendarah daging. Mungkin memang tetap seperti itu, hingga kemudian manajemen berbagai perusahaan merasa perlu untuk mengubah kebiasaan.

Di antara negara Asia, karyawan Jepang paling banyak terancam stres, depresi, dan rentan bunuh diri. Mereka memiliki standar kerja dan tuntutan produktivitas yang begitu tinggi. Untuk itu mereka rela bekerja berjam-jam dalam sehari. Cuti pun jarang diambil.

Peristiwa mengenaskan karena kelebihan bekerja disebut karoshi. Ada banyak alasan kenapa mereka gila bekerja. Ada yang segan jika pulang tepat waktu, mereka dianggap tak loyal jika tak bekerja begitu keras, dan sebagainya. Meskipun lembur tak dibayar mereka pun melakukannya.

Sebenarnya mereka tertekan dan yang tidak tahan pun kemudian melakukan keputusan yang salah dengan mengakhiri hidupnya sendiri.

Selama bertahun-tahun Jepang masuk sebagai tiga besar negara yang angka bunuh diri pekerjanya tinggi sedunia. Fenomena mengenaskan ini mulai terdeteksi tahun 1987. 

Di dalam laporan statistika disebutkan rata-rata ada sekitar dua ribu korban bunuh diri per tahunnya. Namun realitanya angkanya lebih dari itu. Pada tahun 2018 angkanya masih tinggi, yakni 2.018 korban bunuh diri. Korban lainnya yaitu ada yang lumpuh.

Angka ini jelas memprihatinkan. Perusahaan-perusahaan kemudian melakukan evaluasi budaya kerja. Jika di Indonesia rasanya cuti itu kurang, di Jepang karyawan sampai disarankan untuk mengambil cuti. Bahkan kemudian ada regulasi yang memaksa karyawan untuk menggunakan jatah cuti mereka.

Angka bunuh diri karena kelelahan bekerja di Jepang (sumber: statista.com)
Angka bunuh diri karena kelelahan bekerja di Jepang (sumber: statista.com)
Jam kerja pun berupaya dipangkas. Pada hari Jumat terakhir tiap bulan perusahaan diminta memperbolehkan karyawan untuk pulang cepat. Jam tiga sore mereka diizinkan untuk pulang. Meski demikian belum banyak yang menggunakan kelonggaran tersebut.

Oleh karenanya kabar empat hari bekerja dalam seminggu di Microsoft Jepang ini tentu sebuah perubahan yang besar di Jepang. 

Mereka tak ingin karyawannya mengalami karoshi. Selain waktu bekerja lebih singkat, waktu rapat juga dibatasi 30 menitan. Dari hasil evaluasi, produktivitas meningkat dan karyawan nampak lebih bahagia.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Sejak lima tahun belakangan ini budaya bekerja di Indonesia sebenarnya juga mulai berubah. Beberapa perusahaan di Jakarta mulai menerapkan jam masuk dan pulang kerja yang fleksibel.

Ada beberapa pilihan waktu masuk dan pulang bekerja apakah pukul 07.00 hingga pukul 16.00, pukul 08.00 hingga pukul 17.00 dan sebagainya.

Ada juga perusahaan yang membedakan antara karyawan penuh waktu dan paruh waktu. Beberapa perusahaan juga menerapkan golden shake hand, mereka yang berusia tertentu diperbolehkan untuk pensiun dini dengan benefit tertentu.

Di Jakarta kemacetan saat berangkat san pulang bekerja adalah sebuah tekanan tersendiri (ilustrasi: pixabay)
Di Jakarta kemacetan saat berangkat san pulang bekerja adalah sebuah tekanan tersendiri (ilustrasi: pixabay)
Dari obrolan dengan adik-adik mahasiswa yang baru lulus, mereka lebih suka lingkungan kerja yang fleksibel. Oleh karena perjalanan ke tempat bekerja apalagi di Jakarta itu rawan stress. 

Mereka memiliki impian untuk bekerja di tempat yang pertemuan fisik tidak harus setiap hari dengan suasana kerja yang nyaman.

Referensi: satu, dua, tiga, empat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun