Ada tidak enaknya menjadi pelancong solo. Minusnya itu salah satunya soal transportasi. Mau sewa mobil sendiri mahal, tapi gonta-ganti angkutan umum juga kurang fleksibel dan boros waktu. Untunglah aku mendapat bantuan menemukan solusinya oleh seorang kompasianer. Solusinya, sewa ojek wisata.
Ketika ada konferensi di Yogyakarta, aku terpaksa harus berangkat sendirian. Jumlah cuti pasangan sudah tinggal sedikit dan pekerjaan di kantornya sedang sibuk-sibuknya. Akhirnya aku melakukan perjalanan solo.
Agar tak jenuh mengikuti konferensi dan mumpung acaranya di Yogyakarta, maka aku berencana di sela-sela waktu acara untuk berwisata ke sekitaran Yogya. Awalnya aku ingin menggunakan jasa ojek daring. Tapi kemudian aku ragu, bagaimana jika ketika hendak balik dari lokasi wisata, ojek daring itu susah dijumpai atau malah susah sinyal. Sementara, angkutan umum di sekitar tempat wisata di Yogya umumnya terbatas.
Aku pun kemudian bertanya ke kompasianer Yogya. Yang langsung kuingat adalah Pak Ang Tek Khun yang beberapa kali bertemu di Jakarta. Beliau merekomendasikan ojek wisata agar aku bisa lebih fleksibel kemana-mana. Ojek wisata juga relatif aman bagi wisatawan perempuan. Ia kemudian memberiku beberapa pilihan operator. Setelah memeriksa jenis layanan dan tarifnya, maka aku pun memilih salah satu operator ojek wisata.
Ya, dengan waktuku yang tak banyak di Yogya maka aku pun menggunakan jasa ojek wisata. Sebelum giliranku tampil sebagai salah satu pemakalah di sebuah konferensi, maka aku pun mengunjungi obyek wisata yang tak jauh dari Bandara Adi Sucipto.
Di dekat bandara pilihan obyek wisatanya ada banyak, terutama candi-candi. Di antaranya ada Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Ijo, Tebing Breksi dan Situs Ratu Boko. Akhirnya aku memilih Candi Ijo dan Ratu Boko dan singgah sejenak ke Tebing Breksi.
Dari bandara menuju Candi Ijo hanya sekitaran 30 menit. Setelah puas melihat-lihat dan mengambil gambar di kompleks Candi Ijo (ceritanya di sini) maka kendaraan roda dua membawaku ke Situs Keraton Ratu Boko. Mumpung masih pagi dan agak sepi maka aku bisa lebih bebas menyusuri.
Rata-rata pengunjung hanya berfokus pada gapura. Banyak yang asyik berfoto-foto di gapura tersebut. Jarang wisatawan muda yang menjelajah hingga ke gua dan tempat lainnya.
Di bagian paseban ada belasan pekerja yang sibuk melakukan perbaikan. Aku jadi punya teman. Pasalnya sebelah kanan gapura menuju pendopo hingga di sekitar gua begitu sepi.
Ya, setelah lelah berkeliling maka aku pun siap mengikuti konferensi di kampus UGM. Setelah mengikuti beberapa sesi konferensi dan usai menyampaikan hasil penelitianku, maka aku kembali dijemput pengemudi ojek wisata yang ternyata baru kuketahui namanya Rusdi. Saat itu cuaca di Yogya begitu terang dan panas sehingga agak menguras tenaga sehingga kami berangkat agak sore. Akhirnya aku memilih jalan-jalan menyusuri lorong-lorong Tamansari.
Cerita pemandu wisatanya cukup panjang dan lama selama berkeliling kompleks Tamansari. Aku sampai berkeringat karena hawanya yang gerah.
Rusdi kemudian mengusulkan untuk menutup hari dengan menuju Bukit Paralayang Watu Gupit. Lokasinya kata dia agak jauh, beberapa kilometer setelah Pantai Parangtritis. Kata ia, di sana bisa melihat matahari terbenam yang indah.
Wah aku jadi tertarik.
Rupanya hawa menjadi lumayan segar selama perjalanan menuju Parangtritis. Angin sepoi-sepoi dan aku disambut oleh persawahan yang hijau. Jadi terasa lebih adem.
Setelah sekitar 45 menitan melaju kami pun tiba di Bukit Paralayang itu. Wah ternyata lumayan ramai. Semakin petang semakin ramai pengunjung (cerita di sini).
Di sana Rusdi bercerita awal ia menjadi salah satu pengemudi ojek wisata. Ia sehari-harinya bekerja sebagai pengemudi ojek daring. Ia kemudian diajak kawannya untuk bergabung dengan ojek wisata. Jika ada pesanan maka ia pun fokus sebagai pengemudi ojek wisata.
Ia biasanya meminta klien memberitahukan daftar obyek wisata yang ingin ia kunjungi sehingga bisa ia bantu mengatur rutenya. Namun, ada juga klien yang minta diberikan saran akan obyek-obyek wisata yang bisa dikunjungi. Pengetahuannya yang baik tentang jalan-jalan di Yogya dan tempat wisata yang sedang tren membantunya.
Ia bercerita pernah mengalami peristiwa kurang nyaman berkaitan dengan kliennya. Untuk itu ia kemudian melakukan screening medsos tentang kliennya sehingga bisa mendapat sedikit gambaran tentang klien yang akan ditemuinya.
Oleh karena itulah ia bisa langsung menebak aku itu suka menulis dan suka menonton film jenis-jenis tertentu. Oh rupanya ia terlebih dulu mengintip beberapa tulisanku. Tapi tak apa-apa sih jadinya obrolannya nyambung.
Watu Gupit ini pilihan yang tepat untuk menutup perjalanan dengan menuju bukit ini. Langit kemerahan membuat suasana terasa melankolis. Keesokan pagi masih ada acara yaitu studi lapangan tentang desa wisata di kawasan Gunung Nglanggeran. Aku harus menyimpan tenaga untuk besok sehingga sebelum matahari benar-benar tenggelam kami pun melakukan perjalanan pulang.
Dengan hanya beberapa jam aku bisa ke berbagai tempat, ke empat obyek wisata dan mencari oleh-oleh. Jadinya lumayan menghemat waktu, lebih fleksibel, juga lebih aman bagi pelancong perempuan ketika menggunakan jasa ojek wisata ini.
Wah ide ojek wisata ini bisa ditiru oleh daerah wisata lainnya. Sehingga, pelancong solo makin nyaman saat berwisata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H