Jantung adalah organ yang vital. Penyakit ini makin banyak dihadapi oleh penghuni kota besar. Salah satu penyebabnya adalah gaya hidup, seperti malas bergerak. Yuk jaga jantung dengan rajin bergerak. Bagaimana kalau akhir pekan ini mendaki Gunung Api Purba Nglanggeran, Yogya?
Aku mendapat kesempatan untuk mendaki gunung api purba sekaligus berkunjung ke desa wisata ketika mengikuti Indonesia Heritage Tourism Forum. Bersama mahasiswa UGM dan peserta konferensi lainnya kami pun menempuh perjalanan sekitar 45 menit ke Nglanggeran, Patuk, Gunung Kidul.
Aku sendiri pagi itu masih mengantuk dan kemudian terlelap di perjalanan. Bangun-bangun eh di hadapanku adalah panorama gunung yang membentang. Misterius namun juga terasa indah syahdu. Aku jadi bersemangat.
Setelah diberikan briefing sejenak, mulailah kami mendaki. Wah baru mendaki sudah diberi medan yang terus menanjak hingga 20 menitan kemudian. Terakhir naik gunung tahun lalu ke Kawah Ijen. Setelah itu jarang melakukan aktivitas fisik yang serupa. Alhasil mendaki gunung kemarin lumayan bikin ngos-ngosan. Tapi untunglah bentuk pendakiannya sudah berupa anak tangga, sehingga sangat memudahkan, meski mungkin bakal diprotes para pecinta alam karena sudah kurang natural. Ada juga fosil purba yang merupakan replika. Juga ada rute yang mirip gua-gua. Mas Lilik sebagai kepala pemandu wisata terus memberikan semangat. Ayo tidak jauh lagi, sekaligus berolah raga jaga kesehatan jantung.
Ah lolos juga ke jalur sempit tujuh meteran ini. Kami tiba di pos satu yang disebut Gunung Bagong.
Di pos satu panorama indah mengucapkan selamat datang. Hawanya juga begitu segar. Di sini kami bersenang-senang menyesapi hawa segar dan menikmati keindahan panorama. Dari pos satu kami bisa melihat persawahan yang nampak mengering karena kemarau yang berkepanjangan. Kemudian terlihat Gunung Merapi.
Aktivitas gunung ini kemudian menghasilkan breksi andesit raksasa, lava, dan anglomerat yang khas dan indah.
Gunung api purba ini kemudian dibuka untuk umum tahun 1999 tapi baru mulai beken sejak tahun 2007 hingga puncaknya pada tahun 2014. Membludaknya wisatawan membuat persoalan, yaitu masalah sampah. Sebagian wisatawan dengan santai membuang sampah plastik dan tisu di gunung.
Kemudian harga tiket pun dinaikkan menjadi Rp 15 ribu dan wisatawan diberikan edukasi untuk menjaga lingkungan. Karena tiket yang naik maka jumlah wisatawan menurun, sebagian besar yang memang ingin berwisata tanpa merusak lingkungan, alhasil alam Gunung Nglanggeran tetap terjaga. Secara rutin juga dilakukan sapu gunung oleh para karang taruna desa ini.
Ada banyak kisah menarik tentang gunung api purba ini. Dari sejarahnya yang berkaitan dengan tempat hukuman mereka yang merusak wayang, dimana nglanggeran memiliki akar kata 'nglanggar' atau melanggar.
Juga ada kisah kampung pitu di pincak gunung bagian timur dimana ada tujuh keluarga yang tinggal di atas gunung dengan jumlah tujuh. Jumlah mereka sampai sekarang tetap tujuh keluarga, tak pernah bertambah atau berkurang. Jika ada yang menikah dengan orang luar maka ia akan keluar dari desa tersebut. Konon jika jumlah mereka bertambah atau berkurang maka bakal ada sebuah tragedi. Wah...
Perjalanan kami lanjutkan dengan mendaki beberapa saat ke pos kedua. Tidak lama, tidak sampai sepuluh menitan.
Namun perjalanan tidak dilanjutkan ke pos lima atau hingga ke puncak. Kami masih harus ke berbagai lokasi untuk mendapatkan ilmu tentang pengelolaan desa wisata sekaligus menjaga tradisi dan keseimbangan alam.
Setelah tiba di lokasi awal pendakian, kami disambut dengan teh yang harum segar serta kue-kue yang sedap. Ada lemet atau kue terbuat dari singkong dan gula merah, tahu brontak, juga pisang dan kacang rebus. Wah energi pun pulih sebelum lanjut ke tujuan berikutnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI