Dalam acara tanya jawab yang dipandu Andini Effendy ini, Livi Zheng dihadapkan pada sineas dan pengamat film. Mereka adalah Joko Anwar, sutradara yang beken lewat "Pintu Terlarang","Kala", "A Copy of My Mind", "Pengabdi Setan", dan "Gundala"; John de Rantau yang baru merilis film "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi"; Andi Bachtiar Yusuf yang namanya menjulang lewat "Love for Sale"; Nadine Alexandra, bintang "Filosofi Kopi 2"; Adrian Jonathan pengamat film dan Pimred Cinema Poetica; dan Maman Suherman yang seorang wartawan dan penulis.
 Seperti "Sidang Skripsi"
Ketika melihat jalannya acara tersebut awal-awal aku merasa kasihan. Livi seperti tengah 'disidang'. Tapi bukan jenis perundungan, melainkan seperti 'sidang skripsi' bersama para dosen penguji. Livi seperti 'mahasiswi', yang karyanya sedang dibedah oleh para 'dosen penguji'.
Ada yang berperan sebagai dosen yang mengritik tapi sekaligus memberikan saran, yaitu Joko Anwar. Ada juga yang menjadi dosen 'killer' yang diperankan oleh John de Rantau.
Para penguji ini meneliti, bertanya, mengkonfirmasi, dan melakukan diskusi. Sedangkan Livi memberikan dan memertahankan argumentasinya.
Rasa prihatin kepada Livi kemudian menjadi berubah ketika melihat Livi yang ngotot dalam berargumentasi dan terkesan 'merendahkan' para panelis di depannya.
Beberapa panelis wajahnya mulai nampak berubah ketika Livi menganggap tidak ada sineas Asia Tenggara sebelumnya yang berhasil masuk Hollywood, diulas oleh media Amerika, dan filmnya diputar di studio Disney.Â
Aku bertanya-tanya mengapa Livi seperti itu, mungkin Livi tidak kenal dengan orang-orang besar di depannya tersebut.
Ia mungkin tak tahu jika film John de Rantau "Denias Senandung di Atas Awan" pernah didaftarkan di kategori 'best foreign' di Oscar.
Ia juga tak ngeh jika film Joko Anwar "A Copy of My Mind" dan "Gundala" masuk dalam salah satu festival film bergengsi dunia, "Toronto International Film Festival".
Banyak Mendapat Ilmu tentang Perfilman