Indonesia tak hanya pernah dijajah oleh bangsa Eropa dan Jepang, negeri ini juga pernah dijajah barang sangat berbahaya. Candu. Kisah kelam peredaran candu pada masa kolonial Belanda sayangnya tidak pernah diceritakan dalam buku sejarah di sekolah.Â
Untunglah dalam film "Buku Manusia" kisah kelam ini terkuak. Ada beberapa adegan yang mengungkapkan secuil sejarah candu di Jawa yang menyesakkan.
Rumah candu ini disebut-sebut sebagai tempat tujuan Herman Mellema setelah ia mengalami goncangan hati. Ia melarutkan diri dalam rumah tersebut. Lokasinya nampaknya tidak begitu jauh dengan kediaman mereka yang di bilangan Wonokromo, Surabaya.
Disebutkan dalam film tersebut, rumah candu tersebut juga merangkap menjadi rumah bordil. Ada sejumlah perempuan yang bertugas membantu dan menemani mereka yang ingin merasa rileks dengan mengisap candu.
Minke akhirnya tahu isi rumah candu yang dikelola Babah Ah Cong setelah membuntuti sosok mencurigakan yang bersembunyi di rumah ini. Ia melihat orang-orang yang nampak bersantai menikmati candu dengan menghisapnya di balai-balai.
Tahu Bahaya Candu dari Komik Tintin
Aku dulu hanya tahu candu bisa mengakibatkan sebuah kerusakan sosial di China hingga kemudian terjadi Perang Candu (Opium War) antara China dan Inggris.
Tapi aku tak pernah mendapat informasi tentang penyebaran candu di daratan Jawa yang memprihatinkan selama kolonialisme Belanda dan Inggris di bangku sekolah.
Perang candu di Tiongkok terjadi dalam dua tahap pada masa Dinasti Qing. Tahap pertama (tahun 1839-1842) bangsa China kalah dan harus merelakan Hong Kong lepas dan dikuasai Inggris. Disusul kemudian perang berikutnya pada tahun 1856-1860.
Kisah fiksi yang mudah dipahami tentang dampak candu yang mengerikan kubaca waktu masih belia dari komik Tintin. Judulnya "Lotus Biru".
Buku komik Tintin "Lotus Biru" ini khas dengan warna merah dan naga, yang identik dengan China. Kisahnya melanjutkan petualangan Tintin di "Cerutu Sang Pharoh" tentang kasus penyelundupan opium.
Di dalam "Lotus Biru" digambarkan rumah-rumah candu yang masih beroperasi di China secara ilegal. Kemudian putra seorang terpandang, Didi, diracuni dengan Rajaijah juice, seperti opium dengan dosis tinggi yang membuatnya gila.
Aku mulai mengetahui tentang sejarah candu ini dari sebuah resensi buku tentang candu,"Candu Tempo Doeloe" karya James R. Rush, yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu.
Sayangnya aku tak berhasil mendapatkan buku ini. Saat itu bukunya kosong dan belum diterbitkan ulang.
Dari yang kubaca di berbagai sumber, candu sebenarnya telah menjadi barang perdagangan yang dibawa oleh pedagang dari Arab, Turki dan India.
Bahan ini dulunya dikenal sebagai obat dan mulai ditanam pada masa Mesopotamia, kemudian tumbuh subur di Afghanistan, India, dan Pakistan. Ia bisa menjadi obat dalam dosis kecil tapi akan sangat berbahaya jika disalahgunakan.
Benda berbahaya ini kemudian mulai diselundupkan oleh bangsa Inggris sekitar tahun 1729 ke wilayah China. Bangsa Belanda juga meniru jejak Inggris, membawa barang berbahaya ini ke nusantara bahkan lebih awal. Ia memenangkan monopoli candu dari Inggris dan mulai menjualnya pada tahun 1670-an.
Barang ini kemudian menjadi komoditas penting dan dikenai pajak. Ada banyak rumah-rumah candu yang berdiri di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hanya Jawa Barat yang bertahan menolaknya, tapi kemudian jebol pada awal abad ke-20.
Peredaran candu pun semakin luas dan merajalela, terutama pada tahun 1860-1910. Rumah candu dan perdagangan candu ini dikontrol oleh etnis Tionghoa sehingga kemudian memicu terjadi gesekan antaretnis.
Para pemadat memiliki tubuh yang kurus dan semangat kerja yang rendah. Mereka larut dalam khayalan mereka. Balai-balai candu ini yang terkenal ada di Lasem. Lainnya tersebar di Surakarta, Wates, Kedu, Rembang, Madiun, Kediri, Probolinggo, Pasuruan, dan Surabaya.
Melihat kondisi ini Pakubuwono II merasa prihatin. Ia tak ingin anak keturunannya terpapar oleh candu. Upaya dan gerakan memerangi candu juga ada, yaitu dengan mo lima, maling, madon, minum, main, dan madat. Untunglah kebiasaan madat ini mulai benar-benar menghilang setelah masa kemerdekaan.
Mungkin mereka lupa bahwa dalam sejarah, madat itu benar-benar merusak tubuh dan pikiran pemakainya, merosotkan moral, juga merusak konstruksi sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H