Siang tadi (Sabtu, 27 Juli) aku dan tiga KOMiKers, Pak Sutiono, Clara, dan Daniel menikmati acara nonton bareng yang diadakan Kedutaan Australia. Acaranya bertempat di Purnululu Theatre. Sebelum menyaksikan film "Bran Nue Dae" kami dijamu kue-kue khas Australia, minuman, dan es krim.
Film "Bran Nue Dae" menjadi film pilihan yang diputar hari ini. Film ini sarat akan kehidupan sosial budaya penduduk asli Australia dengan latar akhir tahun 1960-an. Selain itu salah satu pemerannya, Jessica Mauboy berdarah campuran Indonesia-Australia, ayahnya berasal dari NTT.
Adalah William Johnson alias Willy (Rockie McKenzie) yang merasa berat meneruskan sekolah untuk menjadi seorang pastur. Selama liburan di rumah ia bertemu dengan Rosie (Jessica Mauboy) dan jatuh cinta kepadanya. Ia ingin menetap di kampung halamannya tapi ibunya bersikeras agar ia menuntaskan pendidikannya.
Menjalani pendidikan sebagai seorang pastur itu berat. Penuh kedisiplinan. Ketika Willy diajak kawan-kawannya mengutil makanan asrama, ia pun ikut-ikutan. Ia mengakui kesalahannya tapi ia marah besar ketika Pastur Benedictus (Geoffrey Rush) menganggap ia sebagai aborigin tak berguna. Ia pun kabur dari asramanya di Perth dan berniat kembali ke Brumme, rumahnya.
Cerita yang Jenaka dan Serba Kebetulan
Sebelum menonton aku tak melihat sama sekali skornya di IMDb atau Rotten Tomatoes. Aku juga tak melihat trailer dan sinopsisnya. Oleh karenanya aku tak punya ekspektasi seperti apakah filmnya.
Film "Bran Nue Dae" dirilis tahun 2009. Disutradarai oleh Rachel Perkins yang kerap mengusung isu kultur dan hal-hal yang dialami pribumi Australia. Pemerannya aku hanya kenal dengan Geoffrey Rush yang kondang lewat "Shine" dan "Pirates of The Carribean"
Ceritanya sederhana tentang seorang remaja yang diperhadapkan dengan dilema. Ia menjalani serangkaian petualangan sebelum kemudian bertekad untuk menempuh jalan hidup yang dipilihnya. Yang bikin menarik adalah akting pemainnya dan isu akan sosial budaya kaum aborigin.
Meskipun penduduk asli, kaum aborigin pada tahun 1960-an seolah-olah dianggap warga kelas dua. Ada perbedaan tajam antara lingkungan dan kehidupan kalangan kulit putih dan kaum aborigin. Yang berkulit putih lingkungannya nampak rapi dan lebih berpendidikan. Sedangkan rumah-rumah di lingkungan tempat tinggal Willy nampak sederhana dan warganya lebih banyak melakukan pekerjaan fisik. Kaum aborigin yang tinggal di kota pun sebagian di antaranya menjadi gelandangan.